Deforestasi Sawit dan Bencana yang Disengaja
Penulis: Sri Radjasa, M.BA
(Pemerhati Intelijen)
OPINI - Banjir dan longsor yang berulang di Aceh Utara, Bireuen dan Pidie Jaya tidak lagi layak disebut sebagai musibah alam semata. Ia adalah bencana yang diciptakan, disusun perlahan melalui pembiaran, dan dilegitimasi oleh kepentingan ekonomi yang mengorbankan daya dukung lingkungan. Setiap kali hujan turun deras, rakyat dipaksa menanggung akibat dari keputusan-keputusan yang menjauh dari akal sehat ekologis dan keadilan sosial.
Fakta di lapangan memperlihatkan satu pola yang konsisten, dimana wilayah-wilayah yang paling parah diterjang banjir dan longsor adalah kawasan yang dalam satu dekade terakhir mengalami pembukaan lahan masif, terutama untuk perkebunan sawit. Hutan yang seharusnya menjadi penyangga alami untuk menyerap air, menahan erosi, dan menjaga keseimbangan hidrologi, telah berubah menjadi hamparan monokultur. Ketika hutan diganti sawit, hujan tak lagi menjadi berkah, melainkan ancaman.
Aceh sejatinya memiliki modal ekologis luar biasa, khususnya dengan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Namun, kawasan strategis ini terus tergerus oleh aktivitas ilegal dan semi legal yang berlindung di balik izin, relasi kekuasaan, dan lemahnya penegakan hukum. Di Aceh Utara dan Bireuen, deforestasi bukan cerita abstrak. Ia hadir dalam bentuk desa yang tenggelam, sawah yang hilang, dan warga yang kehilangan masa depan.
Rantai Sawit, Oligarki, dan Kebohongan Keberlanjutan
Berbagai temuan investigatif menunjukkan bahwa deforestasi di Aceh tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan rantai pasok industri sawit skala nasional hingga global. Sejumlah perusahaan perkebunan dan pabrik kelapa sawit beroperasi dengan rekam jejak konflik agraria, dugaan perambahan hutan, hingga persoalan izin yang kedaluwarsa.
Lebih jauh, sawit dari Aceh mengalir ke pasar dunia melalui jejaring perusahaan besar yang mengklaim diri berkomitmen pada prinsip keberlanjutan.
Di atas kertas, jargon nol deforestasi dan investasi hijau terdengar indah. Namun di lapangan, ia kerap menjadi kedok. Pembukaan lahan terus berlangsung, bahkan di kawasan yang seharusnya dilindungi. Ketika bencana terjadi, tanggung jawab menguap, berganti dengan narasi alam yang disalahkan. Padahal, dalam kajian lingkungan hidup, hubungan sebab-akibatnya jelas, yakni hutan dibabat, daya dukung runtuh, bencana tak terelakkan.
Lebih problematis lagi, praktik-praktik ini sulit dilepaskan dari relasi kekuasaan. Investor sawit tidak bergerak sendirian. Ada jejaring kepentingan yang melibatkan oknum aparat, elite lokal, hingga aktor nasional. Inilah yang oleh banyak akademisi disebut sebagai state capture, ketika kebijakan dan pengawasan negara “dibajak” oleh kepentingan korporasi. Dalam situasi seperti ini, hukum lingkungan kehilangan taring, sementara masyarakat menjadi korban permanen.
Aceh juga menghadapi persoalan klasik berupa izin-izin lama yang tak pernah dievaluasi secara serius. Perusahaan dengan HGU kedaluwarsa masih beroperasi, lahan yang seharusnya kembali ke negara terus dieksploitasi, dan pengawasan nyaris nihil. Negara dirugikan, lingkungan hancur, rakyat menderita. Namun anehnya, semua itu seolah menjadi rahasia umum yang diterima sebagai kenormalan.
*Diam yang Berubah Menjadi Kejahatan*
Dalam konteks bencana ekologis Aceh, diam bukan lagi emas. Ia adalah bentuk kejahatan pasif. Membiarkan perambahan hutan berarti turut menyetujui banjir berikutnya. Membiarkan izin bermasalah berarti merestui longsor yang akan datang. Tidak ada ruang lagi untuk kompromi setengah hati, karena yang dipertaruhkan adalah keselamatan rakyat dan keberlanjutan tanah indatu.
Konstitusi dan undang-undang lingkungan hidup dengan tegas mewajibkan negara melindungi segenap rakyat dan ruang hidupnya. Mandat ini tidak mengenal pengecualian atas nama investasi. Pembangunan yang merusak lingkungan bukan pembangunan, melainkan pemindahan risiko dari pemilik modal kepada masyarakat kecil. Ketika sawit mendatangkan keuntungan segelintir orang, tetapi menyisakan lumpur bagi ribuan warga, maka ada ketidakadilan struktural yang nyata.
Pemerintah Aceh tidak cukup hanya hadir di lokasi bencana dengan ekspresi empati. Yang dibutuhkan adalah langkah tegas dan terukur berupa audit menyeluruh izin perkebunan, penindakan terhadap perambah hutan baik legal maupun ilegal, serta pemulihan ekologis berbasis sains. Tanpa itu, Aceh akan terus mengulang siklus duka yang sama, dari satu musim hujan ke musim berikutnya.
Pada akhirnya, bencana di Aceh Utara dan Bireuen adalah cermin pilihan politik dan ekonomi kita. Jika hutan terus dikorbankan demi rente jangka pendek, maka banjir dan longsor akan menjadi warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang.
Pertanyaannya sederhana, sampai kapan Aceh harus membayar mahal kebohongan atas nama pembangunan?






