Dari Hutang hingga Mangga Curian, Sengketa Warga Pidie Jaya Luruh di Meja Adat
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di Pidie Jaya, hukum bukan hanya tertulis di kitab undang-undang. Ia juga hidup di tengah masyarakat lewat adat gampong, kearifan turun-temurun yang menjaga harmoni warga. Polsek Pante Raja baru-baru ini menjadi contoh nyata bagaimana polisi dan adat bersinergi, dua perkara yang bisa saja berlanjut ke meja hijau, justru selesai di balai gampong dengan sejuknya kata maaf.
Kasus pertama bermula dari persoalan klasik hutang piutang. Seorang warga Gampong Reudeup meminjam Rp6 juta di koperasi desa, namun macet di tengah jalan. Perselisihan berlanjut menjadi tudingan, bahkan sampai ancaman. Biasanya, kasus seperti ini mudah menyeret pihak-pihak ke ranah hukum pidana. Tapi kali ini, alurnya berbeda.
Kapolsek Pante Raja bersama perangkat gampong duduk melingkar dengan para pihak. Ada keuchik, tuha peut, hingga keluarga yang dihadirkan. Proses musyawarah berlangsung tegang, namun akhirnya berujung damai. Sang peminjam mengakui kesalahan, berjanji melunasi hutang, dan yang terpenting saling memaafkan di depan para saksi adat. Sebuah peristiwa kecil, tapi sarat makna, bagaimana adat mampu menjadi jembatan penyelesaian.
Kisah kedua tak kalah menarik. Di Gampong TU, seorang pemuda mengambil buah mangga dan karung bekas milik tetangga. Tindakan sederhana itu justru berakhir ricuh hingga pemukulan. Warga membawa perkara ke polisi. Namun, lagi-lagi Polsek Pante Raja memilih jalan damai berbasis adat. Dalam musyawarah, pelaku meminta maaf, korban menerima, dengan syarat tidak terulang lagi. Surat pernyataan pun ditandatangani bersama, lengkap dengan konsekuensi hukum bila perjanjian dilanggar.
Bagi masyarakat Aceh, adat bukan sekadar pelengkap hukum negara. Ia adalah ruh kebersamaan. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 bahkan mengatur 18 perkara yang boleh diselesaikan lewat adat gampong. Dari sengketa tanah, pertengkaran rumah tangga, hingga pencemaran nama baik, semua bisa selesai lewat musyawarah dan perdamaian, tanpa harus memenjarakan sesama tetangga.
Kapolres Pidie Jaya, melalui Kasi Humas Iptu Nina Ervianti, menyatakan bahwa penyelesaian seperti ini bukan bentuk pembiaran, melainkan pendekatan humanis agar warga tetap rukun. “Melalui problem solving, dua perkara ini selesai secara kekeluargaan tanpa harus berlanjut ke pengadilan. Harmoni warga tetap terjaga,” ujarnya.
Langkah Polsek Pante Raja ini seakan mengingatkan kembali pada pepatah Aceh, "adat bak poteu meureuhom, hukom bak syiah kuala." Adat dan hukum negara berjalan beriringan, saling menguatkan. Dalam praktiknya, polisi hadir bukan untuk menakutkan, tapi sebagai fasilitator agar konflik tidak merusak tatanan sosial masyarakat.
Di tengah derasnya arus modernisasi hukum, pendekatan berbasis adat gampong terasa seperti oase. Ia membuktikan bahwa penyelesaian perkara tak selalu harus berujung vonis, tapi bisa berakhir dengan jabat tangan dan senyum tulus. Di Pante Raja, dua kasus kecil itu menjadi bukti bahwa hukum adat masih berfungsi. (**)