19 Desember 2025
Opini
BANJIR PIDIE JAYA

Catatan Banjir, Pidie Jaya dan Museum Lumpur

OPINI - Pidie Jaya hari ini tampak tenang di permukaan, seolah bencana telah berlalu bersama surutnya air bah. Namun ketenangan itu menipu. Di baliknya, lumpur masih setia menetap di rumah-rumah warga, di halaman, di lorong-lorong sempit, bahkan mendekati atap bangunan. Bagi masyarakat Meureudu dan Meurah Dua, banjir bukan peristiwa kemarin,  melainkan kenyataan yang masih mereka hirup dan pijak setiap hari.

Kabupaten ini menghadapi bencana dengan modal yang sangat terbatas, nyaris tidak ada dana tanggap darurat. Alat berat minim, logistik seadanya, tenaga teknis seadanya. Pemerintah daerah bekerja dengan segala keterbatasan, dan hasilnya pun bisa ditebak. Jalan-jalan utama mulai bersih, sementara rumah warga, rumah ibadah, dan lorong kecil tetap menjadi museum lumpur. Sebuah pemandangan yang mengajarkan bahwa keterbatasan selalu punya alamat, dan alamat itu sering kali adalah rakyat kecil.

Warga bukan tidak mau bergerak. Mereka hanya kehabisan cara. Lumpur tidak tahu harus dibuang ke mana, peralatan kerja hanyut, dan tenaga sudah terkuras oleh hari-hari panjang tanpa kepastian. Mereka duduk di depan rumah yang tak lagi nyaman dihuni, merek hanya bisa meratapi lumpur, merenungi nasib dengan sabar yang nyaris dipaksa. Kesabaran, rupanya, menjadi bantuan paling konsisten yang mereka terima.

Secara kelembagaan, Negara memang mampu menangani fase awal pemulihan banjir melalui BNPB, kementerian teknis, dan pemerintah daerah. Itupun pada fase tanggap darurat I masih banyak wilayah wilayah terdampak yang belum mendapatkan logistik yang memadai. Namun ketika masuk ketahapan pemulihan jangka menengah dan panjang, rehabilitasi rumah, pemulihan ekonomi, pendampingan sosial, hingga pemulihan lingkungan, mesin negara mulai melambat, tersendat oleh birokrasi dan keterbatasan anggaran.

Di titik inilah, ketiadaan lembaga  kemanusiaan terasa begitu nyata. Tanpa mereka, pemulihan berisiko berjalan lambat, tidak merata, dan kurang menyentuh kebutuhan riil korban. Padahal selama ini, NGO justru dikenal bekerja langsung di komunitas, lentur menghadapi kondisi lapangan, dan sabar mendampingi korban hingga benar-benar pulih. Ketika mereka absen, yang hilang bukan hanya bantuan, tetapi juga mitra strategis yang memastikan pemulihan tidak berhenti di laporan.

Di Pidie Jaya drainase yang masih tersumbat lumpur, rumah dibersihkan hari ini, banjir kecil datang besok. Sebuah siklus kerja keras yang dihapus hujan, lalu diulang lagi dengan harapan yang semakin tipis. Barangkali inilah bentuk ketahanan paling sunyi, bertahan dalam pekerjaan yang terasa sia-sia.

Sementara itu, pemerintah pusat menyampaikan optimisme bahwa semua dapat diatasi tanpa bantuan lembaga luar. Sebuah pernyataan yang terdengar menenangkan, setidaknya dari kejauhan. Di lapangan, bantuan yang datang berupa obat-obatan dan logistik terbatas, cukup untuk beberapa hari, lalu selesai. Selebihnya, rakyat Pidie Jaya diminta melanjutkan perjuangan dengan daya tahan masing-masing.

Dalam konteks inilah, peran kepala daerah menjadi sangat penting. Bupati Pidie Jaya tentu tidak cukup hanya berperan sebagai kurir bantuan, menerima lalu mengantarkan bantuan ke titik-titik pengungsian. Tugas kepemimpinan jauh lebih luas, membuka pintu, mengetuk jejaring, dan menjalin kemitraan dengan lembaga kemanusiaan, baik di dalam maupun luar negeri. Mengakui keterbatasan bukan kelemahan, melainkan bentuk kejujuran politik.

Kerja sama dengan lembaga kemanusiaan tidak mengurangi wibawa pemerintah. Justru sebaliknya, itu adalah tanda kepemimpinan yang matang, yang tahu kapan harus memimpin di depan, dan kapan harus berjalan bersama. Kolaborasi adalah jalan keluar paling masuk akal di tengah keterbatasan yang nyata, bukan sekadar slogan.

Akhirnya, Pidie Jaya sedang menguji banyak hal: kapasitas negara, keteguhan pemerintah daerah, dan kesabaran rakyatnya. Kepada para korban banjir, satu hal yang patut kita renungkan, ketabahan bukan alasan untuk diabaikan. Dari museum lumpur  yang masih menggunung  harapan harus terus disuarakan, dan dengan keyakinan bahwa pemulihan layak diperjuangkan, bukan sekadar ditunggu. (TS)