Awal Kehancuran Moral Itu Bernama Money Politics
Foto : Dok. Google Images | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Pemilu serentak untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD/DPRA provinsi serta DPRD/DPRK kabupaten/kota telah dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Selanjutnya, masyarakat Indonesia akan memilih Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati/Walikota-Wakil Walikota di 38 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota secara serentak pada 27 November 2024. Politik sendiri merupakan seni dan ilmu dalam meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun non-konstitusional. Beberapa konsep penting dalam memahami politik adalah kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, serta latar belakang kandidat dan partai politik.
Politik Uang, atau yang dikenal juga sebagai "politik perut", adalah tindakan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang agar mereka tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu pada pemilu dan pilkada. Politik Uang ini bisa berupa uang atau barang. Fenomena ini merupakan pelanggaran kampanye yang sering dilakukan oleh simpatisan, kader, atau pengurus partai politik menjelang hari pemilihan. Bentuk-bentuknya meliputi pemberian uang atau sembako seperti beras, minyak, dan gula untuk menarik simpati masyarakat demi mendukung partai atau kandidat tertentu.
Pemilu dan Pilkada, yang seharusnya menjadi ajang memilih pemimpin adil dan anggota dewan yang memperjuangkan suara rakyat, telah dicemari oleh praktik politik uang yang belakangan ini seolah-olah "dilegalkan". Rupiah dijadikan alat oleh politisi busuk untuk mempengaruhi pilihan di bilik suara. Padahal, politik uang jelas diharamkan dalam Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No. 3 tahun 1999, yang mengancam hukuman penjara hingga tiga tahun bagi pemberi dan penerima suap dalam bentuk uang, barang, atau janji.
Politik uang ibarat senjata pemusnah massal yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat di berbagai sektor, bahkan merusak moralitas manusia. Politik uang menimbulkan dampak negatif yang merugikan seluruh lapisan masyarakat, karena kekuasaan yang seharusnya diberikan melalui kepercayaan malah dibeli dengan uang. Akibatnya, pembangunan terganggu dan pengelolaan pemerintah sarat kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok.
Jika kelak para penguasa bertindak zalim dalam pemerintahannya atau anggota dewan tak lagi menyuarakan kepentingan rakyat, jangan salahkan mereka. Salahkan diri kita sendiri yang telah menjual moral dan masa depan bangsa hanya demi uang receh untuk kebutuhan jangka pendek. Kerusakan yang ditimbulkan dalam lima tahun dapat membutuhkan waktu 25 tahun untuk dipulihkan. Oleh karena itu, masyarakat harus berpikir dua kali sebelum menerima uang dari kandidat yang berambisi untuk terpilih.
Tanggung jawab mencegah kerusakan akibat politik uang bukan hanya milik Bawaslu dan Panwaslih. Kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan pencegahan sedini mungkin dengan menggunakan sebaik mungkin kompetensi yang telah Allah berikan. Mari kita manfaatkan setiap kesempatan untuk mengampanyekan penolakan terhadap politik uang.
Oleh : Mulyadi
Praktisi Sosial & Politik