21 November 2024
Opini

Menangkal Kekerasan Seksual Terhadap Anak melalui Penolakan Penyelesaian di Luar Peradilan

Foto : Dok. Google Image | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Peneguhan UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pasal 23, yang melarang penyelesaian di luar peradilan untuk tindak pidana kekerasan seksual, merupakan langkah positif dalam memastikan keadilan dan perlindungan terhadap korban. Pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang membedakan perlakuan terhadap kekerasan seksual terhadap anak sebagai delik biasa menunjukkan komitmen serius terhadap perlindungan anak. Dengan demikian, memberikan wewenang kepada polisi untuk mengambil tindakan tanpa aduan, memperkuat upaya penegakan hukum dan pencegahan kekerasan seksual terhadap anak.

Lebih jauh lagi, keputusan untuk tidak menganggap persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak sebagai delik aduan, melainkan delik biasa, menandakan perubahan paradigma yang krusial. Hal ini menciptakan dasar hukum yang lebih kuat untuk menindak para pelaku kekerasan seksual terhadap anak, bahkan tanpa keterlibatan langsung dari korban atau pelapor.

Ketidakbergantungan pada laporan dari pihak terdampak dapat membuka peluang penanganan kasus yang lebih efisien dan cepat. Dengan memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil inisiatif, UU tersebut merespons urgensi penanggulangan kekerasan seksual terhadap anak sebagai prioritas nasional.

Namun, tantangan yang mungkin muncul adalah memastikan bahwa wewenang ini tidak disalahgunakan dan bahwa setiap tindakan hukum yang diambil tetap sesuai dengan prinsip keadilan. Perlu adanya pengawasan dan mekanisme pemantauan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan ini dan memastikan bahwa proses hukum tetap transparan.

Dalam keseluruhan, langkah-langkah yang diambil oleh UU ini mencerminkan upaya serius pemerintah untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada anak-anak yang rentan terhadap kekerasan seksual. Namun, perlu kerjasama lintas sektoral, pendidikan masyarakat, dan pemantauan yang cermat untuk memastikan implementasi yang efektif dan penegakan yang adil.

Terlebih lagi, UU Nomor 12 tahun 2022 menunjukkan pergeseran paradigma dari hanya mengejar keadilan punitif menjadi fokus pada pencegahan. Pasal 23 yang melarang penyelesaian di luar peradilan memastikan bahwa pelaku kekerasan seksual tidak dapat menghindar dari pertanggungjawaban hukum. Dengan demikian, UU ini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen penindakan, tetapi juga sebagai alat untuk mengubah budaya yang mendukung dan memungkinkan kekerasan seksual.

Pentingnya memperlakukan kekerasan seksual terhadap anak sebagai delik biasa menekankan bahwa tindakan tersebut adalah pelanggaran serius terhadap norma dan hukum yang harus ditindak dengan tegas. Ini juga memberikan sinyal kuat bahwa masyarakat dan lembaga hukum menolak untuk meremehkan dampak traumatis yang dialami anak-anak sebagai akibat dari kekerasan seksual.

Meskipun demikian, kesuksesan implementasi UU ini akan sangat tergantung pada kesadaran masyarakat dan pendidikan hukum yang memadai. Memastikan bahwa informasi terkait perubahan ini tersebar luas dan dipahami oleh semua pihak akan menjadi langkah krusial dalam mencapai tujuan perlindungan anak yang diinginkan oleh UU tersebut.

Oleh : Teuku Saifullah
Warga Pidie Jaya - Aceh