08 September 2024
Opini

Rehabilitasi Pemaknaan Masjid yang Terdegradasi

Oleh: Risky Almustana Imanullah

OPINI - Bangunan megah dengan kubah besar dan menara yang tinggi menjadi simbol tempat peribadatan umat muslim yang disebut dengan masjid. Secara bahasa masjid adalah tempat yang dipakai untuk bersujud menyembah Allah. Seiring perkembangan zaman, masjid mengalami degradasi fungsi, menjadi tempat berkumpul, khusus untuk menunaikan shalat.

Pada masa Rasulullah, mesjid memiliki fungsi sosial, fungsi politik dan pendidikan. Bahkan menjadi episentreum pengetahuan.
Muncul pertanyaan-pertanyaan dipikiran saya, bagaimana bisa fungsi masjid mengalami proses degradasi? apa penyebabnya? berbondong-bondong pihak membangun dan menghiasi. Ukiran kaligrafi, lantai granit, kilauan cahaya. Apakah masjid harus dibangun megah? sementara diseputaran masjid masih ada fakir miskin dan anak yatim kelaparan.
Mengindahkan masjid hanya sekedar untuk sedap dipandang bukanlah kebutuhan yang sangat signifikan. Betapa malangnya orang tuna netra yang tidak bisa mengagumi keindahan tersebut. Sebagai rumah Allah, seharusnya masjid mampu mengejawantahkan pelayanan sesuai dengan asma-asma Allah dengan memberikan kenyamanan dan kesejukan kepada siapa saja yang hadir tanpa membeda-bedakan golongan.

Sebagai tempat peribadatan masyarakat umum, terdapat tiga (3) golongan yang sepatutnya mendapatkan ruang pelayanan khusus tetapi hampir setiap masjid sedikit abai terhadap golongan tersebut, antara lain adalah perempuan, pengguna kursi roda dan anak-anak.

Pertama, seperti halnya perempuan yang hendak menyusui atau mereka yang tidak bisa masuk masjid karena alasan tertentu, sepatutnya disediakan ruang khusus sebagai bentuk keramahan masjid terhadap perempuan. Begitu juga pengguna kursi roda, sangat sedikit bahkan hampir tidak ada jalur khusus yang diberikan kepada pengguna kursi roda untuk bisa masuk ke masjid.

Kedua, masjid ramah anak. Walaupun hal ini masih menjadi perdebatan karena sebagian orang menafsirkan masjid ramah anak adalah menjadikan masjid seperti taman kanak-kanak. Sehingga banyak anak-anak yang dimarahi dan diusir oleh petugas atau orang dewasa lainnya saat berlari-lari dan membuat keributan dalam masjid. Dalam hal ini sebagai bentuk masjid ramah anak perlu diberikan ruang khusus bagi anak-anak untuk bermain, perpustakaan dan sarana edukatif lainnya. Dengan demikian, mampu menciptakan kenyamanan dan kekhusyukan bagi orang tua dan masyarakat saat beribadah serta mendekatkan si-anak dengan masjid sejak usia dini.

Habib Husein Ja’far Al-Haidar menuliskan dalam bukunya yang berjudul Tuhan Ada Dihatimu, dikisahkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Mukhasyafat Al-Qulub tentang dialog Nabi Musa dan Allah. Seketika Nabi Musa bertanya kepada Allah “manakah diantara ibadahku yang engkau senangi?”, Allah menjawab “memasukkan rasa bahagia kedalam diri orang yang hancur hatinya”. Dari sini bisa kita analisa bahwa ketika sebuah masjid dikelola dengan baik, mampu memberikan kenyamanan, kesejukan dan kebahagian kepada masyarakat maka layaklah masjid tersebut disebut sebagai ”Rumah Allah” karena Allah sangat senang dengan perbuatan yang demikian.
Dalam hal ini perdebatan dengan argument dan dalil yang berbeda tidak dapat dipungkiri.

Mungkin saja sebagian masjid tidak memiliki kas yang cukup untuk memberikan fasilitas pelayanan yang layak sesuai dengan kebutuhan. Tetapi sangat disayangkan bagi sebagian masjid dengan kas yang mencukupi bahkan melebihi puluhan juta hingga ratusan juta rupiah, sedangkan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan tidak begitu dihiraukan. Lantas, untuk apa saja kas tersebut dipergunakan? apakah hanya diperuntukkan untuk menghias, memperbaiki dan membayar honor petugas masjid? bagaimana transparansi dan ketepatan penggunaan kas tersebut?
Habib Husein pernah mengatakan bahwa meski Ka’bah pun disebut “Rumah Allah” (Baitullah), bukan berarti Allah benar-benar berumah disana. Allah Tidak bertempat. Menganggap Ka’bah benar-benar “Rumah Allah” bisa berarti memberhalakan Ka’bah. Maka sejatinya Allah ada dihati kita. Seseorang yang diliputi oleh ketaatan dan cinta atas-Nya, kemanapun dia menghadap, dia melihat-Nya. Masjid bisa dirobohkan, Ka’bah bisa sepi, tapi hati manusia yang beriman akan abadi dalam ketaatan dan kecintaan pada Allah.

Oleh karena itu umat islam, khususnya pengelola masjid semestinya membiasakan diri berpikir substantif. Masjid tidak hanya saja dianggap sebagai tempat pelaksanaan sholat jamaah, mengindahkan masjid tidak serta merta dengan ukiran estetik, cat yang mahal, bangunan yang megah tetapi shaf-nya sepi dari peminat karena tidak mampu menjadi magnet yang mampu menarik setiap orang untuk mendapatkan kenyamanan dan kesejukan. Menjadi catatan hari ini adalah bagaimana mengindahkan masjid dengan ramainya orang yang hadir setiap saat karena masjid telah menjadi tempat memasukkan rasa bahagia dan nyaman kedalam diri setiap orang.