Politik Anggaran, Jalan Pintas Kekuasaan Menuju Proyek Korupsi
Foto : Dok. Google Images/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Infrastruktur sering dielu-elukan sebagai simbol kemajuan. Jalan yang mulus, jembatan yang megah, dan waduk yang mengkilap selalu dijadikan panggung pencitraan bagi penguasa. Namun, di balik narasi manis itu, infrastruktur justru kerap berubah menjadi ladang subur korupsi. Pembangunan tidak lagi sekadar pelayanan publik, melainkan mesin distribusi kekuasaan dan alat memperkaya kelompok tertentu.
Cerita tentang proyek infrastruktur hampir selalu sama, anggaran triliunan, janji pembangunan besar-besaran, tapi hasil yang jauh dari harapan. Jalan baru cepat berlubang, jembatan retak sebelum diresmikan, dan waduk mangkrak menjadi kubangan. Fakta ini menelanjangi bagaimana pembangunan kerap diperlakukan sebagai komoditas politik, bukan sebagai kebutuhan rakyat yang mendesak.
Logikanya sederhana, semakin besar proyek, semakin besar peluang kebocoran anggaran. Tak heran politik anggaran selalu diarahkan ke proyek fisik. Jalan, jembatan, dan irigasi mendominasi karena paling gampang “dikapitalisasi”. Sementara program pemberdayaan rakyat yang tak kasat mata sering dikesampingkan. Maka pembangunan fisik bukan sekadar soal kebutuhan, tetapi soal siapa yang paling rakus menguasai anggaran.
Di tingkat lokal, praktik “fee proyek” sudah menjadi rahasia umum. Tender kerap dimanipulasi, pemenang proyek ditentukan sebelum proses dimulai, dan jatah anggaran sudah dibagi-bagi. Akibatnya, kualitas pembangunan digerus demi setoran politik. Jalan setengah jadi, irigasi tak berfungsi, dan gedung publik cepat lapuk. Rakyat yang menanti akses ekonomi justru mendapatkan infrastruktur rapuh dan setengah hati.
Ironisnya, infrastruktur yang seharusnya membuka keterisolasian justru melahirkan luka sosial. Masyarakat kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada proyek, tetapi pada politik itu sendiri. Mereka melihat pembangunan lebih sebagai panggung pencitraan dibanding pelayanan tulus. Politik anggaran akhirnya menyingkap wajah aslinya, simbol manipulasi kekuasaan, bukan sarana kesejahteraan.
Namun kita tidak boleh terjebak hanya pada sisi gelap. Infrastruktur tetap vital. Jalan yang baik bisa menurunkan biaya transportasi, jembatan mempercepat distribusi hasil panen, dan waduk menjamin pangan. Persoalan inti terletak pada niat, apakah proyek dikerjakan demi rakyat atau demi kantong penguasa? Di sinilah perbedaan antara pembangunan sejati dan pembangunan pura-pura.
Dengan dana otonomi khusus yang melimpah, seharusnya pembangunan infrastruktur bisa menyejahterakan rakyat. Namun tanpa transparansi anggaran, partisipasi publik, dan pengawasan independen, dana besar itu hanya jadi bancakan. Jalan-jalan yang dibangun dengan dana otsus sering tak bertahan lama, sementara desa-desa terpencil tetap terisolasi.
Politik infrastruktur sejatinya adalah cermin wajah kekuasaan. Jika integritas dijunjung tinggi, ia bisa menjadi jembatan menuju keadilan sosial. Tetapi jika dikendalikan nafsu korupsi, ia hanya menyisakan jalan rusak, jembatan rapuh, dan kepercayaan rakyat yang hancur.
Dari sini, kita belajar satu hal, pembangunan bukan semata beton dan aspal. Pembangunan sejati adalah keberanian melawan budaya korupsi yang mengakar dalam proyek-proyek besar. Tanpa itu, semua itu hanyalah lorong menuju jurang ketidakadilan. Infrastruktur akan tetap tampak megah di brosur politik, tapi kosong makna di hati rakyat. (TS)