Pilar Pembangunan yang Rapuh: Saat Insinyur dan Pekerja Konstruksi Terpinggirkan
Foto : Muhammad Ansar, ST,MT | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh : Muhammad Ansar, ST, MT
Buruh Konstruksi, Aceh
OPINI - Di tengah laju pembangunan infrastruktur dan properti yang kian masif, pekerja konstruksi dan insinyur seharusnya menjadi ujung tombak kemajuan bangsa. Namun realitas di lapangan justru memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Mereka bekerja keras menggerakkan fondasi pembangunan, tetapi masih terjebak dalam lingkaran upah rendah, minimnya perlindungan, serta keterbatasan pengembangan karier. Bahkan, efisiensi proyek yang dikejar investor sering kali membuat sebagian dari mereka kehilangan pekerjaan.
Persoalan kesejahteraan menjadi isu utama. Buruh konstruksi banyak yang hanya digaji harian dengan nominal jauh dari kebutuhan hidup layak. Hak dasar seperti tunjangan kesehatan, asuransi, hingga jaminan kecelakaan kerja masih dianggap sebagai “kemewahan”, bukan kewajiban. Sementara insinyur, meski mengantongi pendidikan tinggi dan memikul tanggung jawab teknis yang besar, sering kali dibayar setara dengan profesi lain yang bebannya jauh lebih ringan. Ketidakadilan ini jelas merugikan dan mengikis motivasi generasi muda untuk menekuni profesi vital tersebut.
Dari sisi keselamatan, kondisi pekerja konstruksi lebih mengkhawatirkan. Masih banyak proyek yang abai terhadap standar keamanan dasar seperti helm, rompi pelindung, atau pelatihan kerja. Akibatnya, angka kecelakaan kerja tetap tinggi dan sering kali dianggap “risiko pekerjaan” semata. Di lain pihak, para insinyur menghadapi beban kerja dan tekanan mental yang berat, tanpa dukungan manajemen stres atau fasilitas kesehatan mental yang memadai. Padahal, ketahanan fisik dan psikologis pekerja serta insinyur adalah faktor krusial bagi keberlangsungan proyek.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah pengembangan karier. Pekerja konstruksi kerap terjebak dalam posisi rendah tanpa peluang peningkatan keterampilan yang layak. Sementara itu, insinyur lapangan jarang mendapatkan kesempatan mengikuti sertifikasi, pelatihan internasional, atau riset pengembangan teknologi. Padahal, era digitalisasi konstruksi menuntut peningkatan kompetensi agar tenaga kerja kita tidak tertinggal dari standar global. Tanpa investasi pada sumber daya manusia, pembangunan hanya akan menghasilkan proyek instan, bukan warisan berkualitas.
Solusinya tidak bisa setengah hati. Pemerintah harus memperketat regulasi upah minimum sektor konstruksi dan mengawasi implementasi jaminan sosial tenaga kerja. Pelaku industri wajib mengalokasikan anggaran untuk keselamatan kerja dan pelatihan rutin, bukan hanya mengejar keuntungan cepat. Sementara asosiasi profesi perlu aktif memperjuangkan hak insinyur dan pekerja agar mendapatkan posisi strategis dalam perencanaan, bukan sekadar pelaksana teknis.
Lebih jauh, dunia pendidikan juga perlu berkolaborasi. Universitas dan politeknik harus terhubung langsung dengan dunia industri sehingga lulusan tidak hanya mahir teori, tetapi juga mendapat pengalaman lapangan dan akses sertifikasi sejak dini. Pemerintah daerah dapat ikut berperan dengan menyelenggarakan program pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan pasar lokal, agar pekerja konstruksi tidak hanya bergantung pada proyek-proyek besar.
Pada akhirnya, memperjuangkan nasib pekerja konstruksi dan insinyur bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga investasi jangka panjang bangsa. Mereka adalah pilar pembangunan yang menopang keberlanjutan infrastruktur, kualitas hunian, hingga daya saing nasional. Jika negara ingin membangun lebih dari sekadar gedung dan jalan, tetapi juga martabat dan masa depan, maka memperbaiki kesejahteraan, keselamatan, dan karier mereka adalah langkah awal yang mutlak dilakukan.