Pidie Jaya Tanpa Cek Lah dan Beruntung Karena Saboh Jurong
Foto : Dok. Google Images | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI – Enam bulan sudah Bupati dan Wakil Bupati Pidie Jaya menjabat, setelah dilantik Gubernur Aceh, yang merupakan perpanjangan tangan Presiden Prabowo Subianto, pada Februari 2025 silam. Waktu memang singkat, tetapi cukup untuk menilai arah kepemimpinan. Sayangnya, alih-alih gebrakan perubahan, yang muncul justru rentetan masalah lama yang seolah dipelihara, sementara janji kampanye masih terparkir di panggung seremonial. Rakyat yang dulu berbondong-bondong ke TPS kini hanya bisa bertanya, apa sebenarnya yang sudah dikerjakan Bupati dan Wakil Bupati Pidie Jaya selama enam bulan terakhir?
Salah satu janji kampanye yang paling diingat adalah jargon “Pidie Jaya tanpa Cek Lah”, simbol pemerintahan bersih dan bebas dari nepotisme. Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Penunjukan Ketua Dewas dan Ketua Timsel BMK terbentur aturan, hingga proses rekrutmen komisioner sempat tertunda. Penempatan Ketua Tim Pemenangan di posisi Dewan Pengawas BMK terkesan dipaksakan dan bahkan melanggar Qanun. Penunjukan Ketua Tim Seleksi juga sarat masalah karena tidak sesuai regulasi. Lalu, di mana letak “tanpa Cek Lah” jika praktik lama justru dipelihara? Kasus BMK menjadi awal kebangkitan kembali praktik Cek Lah di Pidie Jaya.
Baca Juga : Paslon Sabar Akan Hilangkan Istilah Cek Lah dan Saboh Jurong : :https://liputangampongnews.id/berita/detail/paslon-sabar-akan-hilangkan-istilah-cek-lah-dan-beruntung-karena-saboh-jurong
Di ibu kota kabupaten, janji penataan wajah kota Meureudu sebagai pusat perdagangan belum tampak nyata. Jalan-jalan masih semrawut, drainase macet, dan yang menonjol hanyalah kegiatan seremonial belaka. Meureudu seharusnya menjadi etalase Pidie Jaya dan motor penggerak ekonomi, namun stagnasi makin jelas, seolah ibu kota dibiarkan berjalan tanpa arah. Reformasi birokrasi yang dijanjikan juga tak kunjung dibenahi. Pelayanan publik masih lamban dan minim pengawasan. Beberapa instansi malah kosong selepas jam makan siang, seakan pegawai hadir hanya untuk absen, bukan melayani rakyat. Reformasi birokrasi baru sebatas pergantian Sekda, sedangkan pejabat setingkat kadis, kabid, hingga kasie tetap dari birokrasi lama, sehingga nuansa reformasi dan perubahan minim terasa.
Desas-desus di warung kopi menyebut sejumlah kegiatan dan jabatan strategis masih tarik ulur di lingkaran kekuasaan “Cek Lah”. Tidak heran jika seorang warga Pidie Jaya yang konon katanya memiliki akses ke lingkaran kekuasaan berujar getir, “Wajar kalinyoe tacok keu tanyoe, karena 10 thon ka dicok le awak nyan” (Red: bahasa Aceh), seolah jabatan menjadi milik satu kelompok saja. Jika pola ini terus dipraktikkan, untuk apa semangat perubahan digelorakan di awal, bila yang terjadi hanya bagi-bagi kue kekuasaan?
Krisis pelayanan juga nyata ketika menyentuh kesejahteraan aparatur dan tenaga medis. Jerih keuchik dan perangkat gampong masih tertunggak, pegawai rumah sakit belum menerima jasa medis berbulan-bulan, dan rumah sakit daerah menanggung utang ke penyedia obat. Akibatnya, pelayanan kesehatan menurun, dan pasien justru menjadi korban kelalaian tata kelola. Infrastruktur dasar pun bernasib sama, jalan-jalan berlubang, jembatan nelayan rusak, dan janji percepatan pembangunan hanya bergema di podium kampanye, tanpa langkah nyata di lapangan. Belum lagi temuan BPK tahun 2024 yang jumlahnya signifikan, sudahkah Bupati memastikan uang rakyat itu dikembalikan ke kas daerah?
Masalah lain adalah pengelolaan aset daerah yang semrawut. Sejumlah aset pemkab dipinjam pakai atas nama pribadi. Bahkan muncul kabar dua mobil dinas berpelat merah milik Dinas Pertanian & Pangan dipakai oleh tim pemenangan dan orang dekat bupati. Ini bukan sekadar penyalahgunaan fasilitas negara, tetapi penghinaan terhadap integritas pemerintahan.
Publik juga masih mendengar jargon “Pidie Jaya tidak lagi dikendalikan oleh orang-orang ‘Saboh Jurong’”. Secara simbolik, jargon ini terdengar heroik, menjanjikan reformasi birokrasi dan pemerataan pembangunan. Namun enam bulan berlalu nuansa perubahan sama sekali belum terasa. Jalan sempit, pembangunan tak merata, dan birokrasi lamban membuktikan bahwa “Saboh Jurong” mungkin lebih tepat, karena pola lama hanya sedikit lebih tipis. Ironisnya, jargon kampanye kini sering menjadi bahan lelucon di warung kopi dan media sosial. Warga menyebutnya “Pidie Jaya versi drama politik”: kata-kata besar, tapi tindakan kecil. Bahkan kegiatan seremonial sering kali tampak lebih penting daripada pelayanan nyata bagi rakyat, seolah panggung lebih bernilai daripada hasil kerja.
Pertanyaan pun muncul, apa gebrakan awal perubahan pemerintah kabupaten Pidie Jaya ketika tampuk kepemimpinan berganti? Apakah janji kampanye dituangkan dalam RPJMK (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten), atau justru mengakomodir program “orang dalam” yang identik dengan pola lama? Jika benar demikian, jargon “tanpa Cek Lah” hanyalah tameng, bukan arah perubahan.
Tulisan ini untuk mengembalikan semangat perubahan yang pernah dijanjikan. Penulis masih ingat ucapan salah seorang pimpinan daerah ini: “Kritiklah kami di awal, jangan di akhir, agar kami bisa melakukan perubahan yang rakyat inginkan.” Ucapan itu patut dipegang, agar Pidie Jaya tidak lagi menjadi “Saboh Juroeng” seperti periode sebelumnya.
Opini ini ditulis bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan kembali janji-janji kampanye. Pidie Jaya membutuhkan konsistensi, integritas, dan keberanian untuk memastikan slogan benar-benar menjadi kenyataan yang dirasakan warga. Rakyat menunggu, LSM dan aktivis anti-korupsi di Pidie Jaya harus lebih berani menyuarakan suara kaum pinggiran.
Pada akhirnya, rakyat hanya bisa bertanya dengan getir: “Pidie Jaya tanpa Cek Lah” katanya, tapi kenapa rakyat justru dipaksa terus “Cek Sabar”? (TS)