06 Juni 2025
Opini

Kepemimpinan Bukan Sekadar Jabatan: Menyelami Psikologi di Balik Kursi Pemimpin

Oleh: Muchlisuddin, Keuchik Gp. Ulee Gle

OPINI - Dalam kehidupan organisasi dan sosial kemasyarakatan, sering kali kepemimpinan dipersempit maknanya menjadi sekadar jabatan. Siapa yang duduk di kursi tertinggi, dialah yang dianggap pemimpin. Padahal, hakikat kepemimpinan jauh lebih mendalam dari sekadar kedudukan formal. Ia adalah seni memengaruhi, kemampuan memberdayakan, dan kecakapan membentuk budaya yang sehat. Di balik semua itu, tersimpan dasar yang kerap terlupakan: psikologi kepemimpinan.

Psikologi kepemimpinan mengajak kita untuk tidak hanya menilai pemimpin dari apa yang ia capai, melainkan juga bagaimana ia memahami dan memperlakukan manusia di sekitarnya. Kepemimpinan bukan soal kekuasaan, tetapi soal kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain.

Pemimpin yang efektif bukan hanya cerdas dalam menyusun program atau rencana kerja, tetapi juga peka secara emosional terhadap dinamika tim. Ia mampu membaca suasana hati, mengelola konflik tanpa menyulut api, dan memberi semangat ketika semangat mulai meredup. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) menjadi kunci utama, karena memimpin manusia tidak bisa hanya mengandalkan logika semata perasaan dan empati justru menjadi fondasi kepercayaan.

Kepemimpinan yang kuat lahir dari dalam. Dari kemauan untuk belajar, mendengar, dan berubah. Pemimpin tidak selalu harus menjadi yang paling tahu, tapi harus menjadi yang paling memahami. Ia bukan hanya hadir saat memberi instruksi, tetapi juga saat menyimak keluhan dan harapan yang terucap lirih dari warga atau anggota timnya.

Dalam konteks desa, hal ini menjadi sangat relevan. Seorang keuchik, misalnya, bukan hanya administrator pemerintahan gampong. Ia juga pemimpin budaya, panutan sosial, dan pemersatu ragam aspirasi. Keberhasilan pembangunan desa tidak cukup diukur dari bangunan fisik semata, tapi dari keharmonisan sosial, kepercayaan publik, dan rasa keadilan yang tumbuh. Semua itu hanya bisa dibangun oleh pemimpin yang berjiwa psikolog, bukan sekadar birokrat.

Kita semua, pada posisi apapun, punya potensi untuk memimpin asal kita mau menyelami sisi batiniah kepemimpinan itu sendiri. Psikologi kepemimpinan bukan hanya teori, melainkan jalan menuju kepemimpinan yang lebih manusiawi, bijak, dan berkelanjutan.

Mari kita mulai memimpin bukan hanya dengan kepala, tapi juga dengan hati.