20 Februari 2025
Opini

Bahasa Aceh: Bukan Sekadar Kata, tapi Jejak Martabat Rakyat Aceh, Jangan Biarkan Lenyap!

Oleh : Tgk. Adam Juliandika - Mahasiswa Pascasarjana S2 Magister Hukum Tata Negara, Universitas Abulyatama Aceh

OPINI - Baru-baru ini, UNESCO menetapkan Bahasa Aceh sebagai bahasa yang rentan atau terancam punah. Padahal, bahasa ini merupakan salah satu kekayaan budaya Aceh yang telah hidup selama ratusan tahun, menjadi identitas masyarakat, dan bahkan menjadi simbol perlawanan di masa konflik. Namun, di era globalisasi, Bahasa Aceh semakin tersisih oleh tekanan bahasa dominan seperti Bahasa Indonesia dan Inggris. Jika tidak ada intervensi serius, bukan tidak mungkin dalam 2-3 generasi mendatang, bahasa ini hanya akan menjadi catatan sejarah.

Akar Masalah: Mengapa Bahasa Aceh Terancam?

1. Dominasi Bahasa Indonesia dan Asing

Globalisasi telah membawa pengaruh besar terhadap preferensi bahasa generasi muda. Menurut data BPS Aceh (2019), 78% anak usia sekolah di kota besar seperti Banda Aceh dan Lhokseumawe lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Inggris juga semakin dianggap sebagai "tiket" untuk bersaing di dunia kerja. Sebaliknya, penggunaan Bahasa Aceh hanya bertahan di daerah pedesaan dan kalangan usia tua.

2. Modernisasi dan Perubahan Nilai Sosial

Urbanisasi dan gaya hidup modern menggeser nilai-nilai lokal. Banyak orang tua kini lebih bangga jika anaknya fasih berbahasa Indonesia atau Inggris daripada Bahasa Aceh. Seperti dikatakan antropolog Teuku Kemal Fasya, "Bahasa Aceh mulai dianggap kuno, sementara bahasa nasional dan asing diidentikkan dengan kemajuan" (Kompas, 2021). Fenomena ini diperparah oleh minimnya representasi Bahasa Aceh di media massa dan platform digital.

3. Lemahnya Peran Pendidikan dan Kebijakan

Meski UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara mengamanatkan pelestarian bahasa daerah, implementasinya di Aceh masih setengah hati. Bahasa Aceh hanya diajarkan sebagai muatan lokal di sebagian kecil sekolah tanpa kurikulum yang sistematis. Bandingkan dengan Bali, di mana Bahasa Bali diwajibkan hingga tingkat SMA. Peneliti bahasa Taufik Abdul Hakim menyebut, "Kebijakan yang tidak afirmatif membuat bahasa daerah hanya menjadi pajangan" (Jurnal Linguistik Indonesia, 2020).

4. Generasi Muda yang Terputus dari Akar

Survei Dinas Pendidikan Aceh (2022) menunjukkan bahwa 65% remaja Aceh berusia 15-24 tahun kesulitan memahami peribahasa atau kosakata tradisional dalam Bahasa Aceh. Mayoritas mengaku lebih sering menonton konten berbahasa Indonesia di TikTok atau YouTube daripada mendengarkan cerita rakyat dalam bahasa ibu.

Solusi Menyelamatkan Bahasa Aceh dari Kepunahan

1. Integrasi ke Sistem Pendidikan

Pemerintah Aceh perlu memperkuat Perda No. 5/2019 tentang Bahasa, Tulisan, dan Sastra Aceh dengan memasukkan Bahasa Aceh sebagai mata pelajaran wajib dari SD hingga SMA. Contoh sukses bisa diadopsi dari Suku Maori di Selandia Baru, yang berhasil menghidupkan kembali bahasa mereka melalui program "Kohanga Reo" (Sekolah Bahasa Ibu).

2. Revitalisasi melalui Media dan Teknologi

Kolaborasi antara pemerintah, seniman, dan platform digital seperti Aceh TV atau Rapoet Haba perlu ditingkatkan. Pembuatan podcast, lagu, atau serial animasi berbahasa Aceh bisa menarik minat generasi muda.

3. Insentif bagi Penutur Aktif

Pemerintah bisa memberikan penghargaan atau beasiswa kepada pelajar yang aktif menggunakan Bahasa Aceh dalam esai atau karya seni. Di Wales, Inggris, program "Cymraeg for Kids" sukses meningkatkan penutur muda bahasa Wales melalui insentif serupa.

4. Peran Ulama dan Tokoh Adat

Sebagai daerah yang kental dengan nilai agama, ulama dan teungku bisa menjadi garda terdepan dalam melestarikan Bahasa Aceh melalui pengajian, khutbah, atau majelis taklim.

Bahasa adalah Jiwa Bangsa

Seperti yang diingatkan oleh Nelson Mandela, "Jika Anda berbicara kepada seseorang dengan bahasa yang ia pahami, pesan itu masuk ke kepalanya. Jika Anda berbicara dengan bahasanya sendiri, pesan itu masuk ke hatinya."

Bahasa Aceh bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga penyampai nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan identitas kebanggaan rakyat Aceh. Jika kita diam saja, kita sedang membiarkan satu per satu cahaya kebudayaan kita padam. Mari bertindak sekarang, sebelum terlambat.

Referensi

1. UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger (2023).

2. BPS Aceh (2019). Statistik Penggunaan Bahasa Daerah di Aceh.

3. Fasya, T.K. (2021). Bahasa Aceh dalam Pusaran Modernitas. Kompas.

4. Hakim, T.A. (2020). Kebijakan Pelestarian Bahasa Daerah di Indonesia. Jurnal Linguistik Indonesia.

5. Dinas Pendidikan Aceh (2022). Survei Literasi Bahasa Daerah pada Generasi Muda.