Ketua KB PII Pidie Jaya: Penanggulangan Bullying di Sekolah Butuh Kolaborasi Lintas Sektor
Foto : Ketua KB PII Pidie Jaya, Saiful, M.Pd | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID – Masalah bullying di lingkungan pendidikan tak hanya sekadar pelanggaran norma sosial, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap tumbuh kembang psikologis dan akademik peserta didik.
Ketua Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) Kabupaten Pidie Jaya, Saiful, M.Pd., Minggu (4/5/2025), kepada media liputangampongnews.id, ia menekankan bahwa pencegahan bullying tidak bisa dibebankan pada satu pihak saja, melainkan perlu sinergi aktif dari berbagai elemen, mulai dari lembaga pendidikan, orang tua, hingga institusi pemerintah.
“Pembentukan karakter siswa bukan pekerjaan singkat. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan keterlibatan semua pihak,” ujar Saiful dalam sebuah pernyataan, pasca viralnya kasus bullying yang terjadi di SMPN 2 Bandar Dua.
Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang menyeluruh—bukan hanya represif—dalam menghadapi kasus bullying yang marak terjadi di sekolah.
Menurutnya, kehadiran pemerintah melalui Dinas Pendidikan serta Majelis Pendidikan Daerah (MPD) memiliki peran strategis dalam memberikan kontrol dan arah kebijakan pencegahan. Namun, fungsi pengawasan tidak cukup tanpa keterlibatan aktif dari guru di kelas, orang tua di rumah, serta masyarakat di sekitar lingkungan siswa.
Ketika kasus bullying terlanjur terjadi, Saiful menyarankan pendekatan yang lebih berorientasi pada pemulihan psikologis, baik bagi korban maupun pelaku. Alih-alih mengandalkan jalur hukum semata yang bisa berujung pada trauma berkepanjangan, ia mendorong mediasi dan dialog sebagai metode penyelesaian yang lebih manusiawi dan konstruktif. “Penyelesaian berbasis keadilan restoratif dapat membangun kesadaran dan empati, bukan sekadar menghukum,” jelasnya.
Saiful juga menekankan pentingnya pendidikan karakter yang konsisten dalam kurikulum sekolah. Sekolah perlu menjadi ruang aman bagi siswa, di mana nilai-nilai moral ditanamkan secara intensif dan perilaku menyimpang ditangani secara tegas namun edukatif. Pendekatan konseling terhadap korban juga dinilai esensial untuk memulihkan rasa percaya diri mereka.
Tak kalah penting, peran orang tua dinilai sangat krusial dalam membentuk kepribadian anak sejak dini. “Lingkungan keluarga yang penuh kasih, terbuka dalam komunikasi, dan konsisten dalam menanamkan etika, adalah benteng pertama dalam mencegah perilaku menyimpang,” tambahnya.
Di tengah kompleksitas persoalan ini, Saiful mengajak semua pihak untuk meninggalkan pola pikir saling menyalahkan. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah semangat kolaboratif untuk mencari solusi bersama. Ia optimis bahwa dengan kerja sama lintas sektor, budaya saling menghormati dan empati dapat tumbuh kuat di lingkungan sekolah.
“Kita ingin menciptakan sekolah yang bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tempat tumbuh—tempat anak-anak merasa aman, dihargai, dan didengar,” pungkasnya. (**)