20 Juni 2025
Opini

Di Era Banjir Informasi, Logika Adalah Benteng Terakhir Kita

Oleh: Suhami, M.Pd - Komisioner BAWASLU Aceh Besar

OPINI - Di tengah derasnya arus informasi, kebenaran bukan lagi soal apa yang nyata, tapi soal siapa yang paling dulu dan paling keras menyebarkannya. Kita hidup dalam zaman ketika viral lebih cepat daripada valid, dan percaya lebih mudah daripada berpikir. Maka, jika kita ingin selamat sebagai manusia merdeka, logika adalah benteng terakhir yang harus kita perkuat.

Filsuf Prancis René Descartes pernah berkata, Cogito ergo sum  aku berpikir maka aku ada. Namun dalam praktik sehari-hari, banyak dari kita melompat dari mendengar ke percaya, dari melihat ke meyakini, tanpa melewati proses berpikir. Inilah yang membuka pintu bagi hoaks, fitnah politik, opini berkedok fakta, dan fanatisme yang berbahaya.

Sebagai pengawas pemilu dan warga negara, saya melihat sendiri bagaimana informasi yang keliru bisa memecah belah masyarakat. Banyak orang termakan narasi emosional yang sebenarnya penuh sesat pikir, hanya karena narasi itu disampaikan oleh tokoh yang mereka sukai. Kita lupa bahwa kepercayaan tanpa keraguan bukanlah bukti kesetiaan, melainkan gejala kepalsuan.

Kritis Bukan Berarti Sinis

Kita perlu membedakan antara fakta dan opini. Kalimat “Pemerintah tidak peduli rakyat” adalah opini. Faktanya harus dibuktikan lewat data, misalnya: “Dana bantuan sosial terserap hanya 40% per Mei 2025.” Dari data itulah opini bisa dipertimbangkan secara rasional.

Lebih jauh, kita harus melatih diri mengenali sesat pikir. Misalnya, anggapan bahwa menolak sebuah kebijakan berarti menolak seluruh pemerintahan adalah false dilemma. Padahal dalam demokrasi, kritik adalah bentuk cinta terhadap negeri, bukan pemberontakan.

Mengapa dan Untuk Apa?

Pertanyaan sederhana “mengapa?” bisa membongkar asumsi yang menyesatkan. Mengapa isu ini muncul menjelang pemilu? Mengapa berita ini viral hanya di satu kelompok tertentu? Mengapa saya merasa marah saat membaca judulnya? Di balik pertanyaan-pertanyaan itu ada ruang refleksi yang akan mengasah logika dan etika kita.

Sayangnya, sebagian besar dari kita hanya ingin percaya, bukan memahami. Kita lebih suka mengikuti selera dan emosi ketimbang menelusuri sebab-akibat. Maka tak heran, banyak yang lebih yakin bahwa kesuksesan seseorang hanya karena “doa orang tua,” tanpa menimbang kerja keras, ketekunan, dan sistem pendukung yang nyata.

Menulis dan Berdiskusi sebagai Latihan Intelektual

Menulis bukan hanya soal menuangkan pikiran, tapi soal menguji pikiran. Saat kita memaksa diri menulis dengan runtut dan sistematis, kita akan tahu apakah kita benar-benar paham atau sekadar ikut-ikutan. Demikian pula diskusi dengan orang yang tak sependapat. Bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperluas cakrawala berpikir.

Logika bukan alat untuk menang debat. Ia adalah cahaya yang membebaskan kita dari belenggu manipulasi.

Masyarakat Cerdas Butuh Logika Sehat

Sebagai bangsa yang sedang membangun demokrasi, kita tak bisa hanya berharap pada regulasi dan lembaga pengawas. Perlawanan terhadap manipulasi dan kebohongan harus datang dari rakyat yang logis dan kritis.

Mari kita bentuk budaya baru: budaya berpikir sebelum percaya, budaya bertanya sebelum menyimpulkan, budaya berdialog sebelum menuding.

Logika tak bisa diwariskan. Ia harus ditempa lewat proses bertanya, membaca dengan skeptis, menulis dengan jujur, dan berdiskusi dengan hormat. Karena di era pasca-kebenaran ini, satu-satunya pertahanan kita tinggal satu yaitu akal sehat.