14 Oktober 2025
Opini

Dari Pupuk ke Penjara Opini, Ironi Demokrasi di Negeri Agraris

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

OPINI - Ketika sebuah ruang diskusi publik yang sejatinya menjadi wadah ekspresi kebebasan berpendapat berubah menjadi medan kriminalisasi, maka yang terancam bukan sekadar para pembicara, tetapi juga hak publik untuk mengetahui kebenaran. Kasus yang menimpa Roemah Pemoeda Podcast dengan host Ilham Rasul dan narasumber Kisman Latumakulita menjadi cermin suram tentang bagaimana kritik bisa dengan mudah diterjemahkan sebagai serangan pribadi, lalu dibungkam melalui jalur hukum.

Dalam salah satu episode, mereka mengulas soal carut-marut pengelolaan PT Pupuk Indonesia, yang menurut audit independen disebut mengalami potensi kerugian hingga Rp8,3 triliun. Podcast itu menyoroti betapa pentingnya peran pupuk sebagai komoditas strategis yang menguasai 65 hingga 75 persen ruang gerak sektor pertanian nasional. Sebab jika sistem distribusi dan tata kelolanya bermasalah, maka program swasembada pangan pun akan ikut terganggu.

Dalam diskusi tersebut, nama Nurlia Sulaiman, yang disebut sebagai pemilik CV Mulia sekaligus adik Menteri Pertanian, muncul sebagai salah satu distributor pupuk di wilayah Indonesia Timur. Kritik ini, yang sejatinya berbasis pada informasi publik dan logika kepentingan umum, justru memantik reaksi keras. Nurlia kemudian melaporkan Roemah Pemoeda ke Polda Sulawesi Selatan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penyerangan terhadap kehormatan pribadi.

Langkah hukum tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kritik terhadap kebijakan publik dan hubungan bisnis yang melibatkan keluarga pejabat negara kini sudah dianggap tindak pidana? Tindakan pelaporan ini tampak sebagai bentuk abuse of law dengan penyalahgunaan instrumen hukum untuk membungkam suara yang kritis terhadap kekuasaan. Padahal, ruang publik seperti podcast adalah bagian dari ekosistem demokrasi yang justru membantu pemerintah menjaga transparansi dan akuntabilitas.

Di tengah era digital, ketika media sosial menjadi kanal partisipasi warga, penggunaan pasal pencemaran nama baik untuk mengkriminalisasi ekspresi publik terasa seperti kemunduran demokrasi. Bukannya menanggapi dengan klarifikasi atau membuka data transparan, pelaporan semacam ini justru memperlihatkan bagaimana kuasa bisa digunakan untuk melindungi kepentingan pribadi. Dalam istilah lama, ini ibarat “menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.”

Lebih jauh, kasus ini mengandung dimensi etika dan hukum publik yang tak bisa diabaikan. Jika benar hubungan kekerabatan digunakan untuk memperoleh fasilitas bisnis dari institusi negara, maka persoalan ini semestinya diselidiki melalui mekanisme antikorupsi, bukan dibungkam lewat laporan pidana. Publik kini menunggu, apakah Menteri Pertanian berani bersikap objektif ketika adiknya sendiri yang menjadi pelapor?

Ironi ini terasa semakin tajam karena terjadi di negeri agraris, di mana pupuk bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan penopang hidup jutaan petani. Ketika isu sebesar tata kelola pupuk justru berujung pada kriminalisasi kritik, maka yang hancur bukan hanya wibawa hukum, tapi juga harapan masyarakat terhadap demokrasi yang sehat.

Dari pupuk hingga penjara opini, perjalanan ini memperlihatkan bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh di tangan kekuasaan yang alergi kritik. Jika setiap kritik terhadap kebijakan publik bisa dilaporkan sebagai kejahatan pribadi, maka kita bukan sedang hidup di negara hukum, melainkan di bawah bayang-bayang hukum yang dipakai sebagai alat kuasa.