19 Juni 2025
Opini

Nilai Akademis Bukan Satu-Satunya Ukuran Cerdas

Oleh: Fajrillah, M.Ed.,PhD (Cand)

Opini | Rubrik Pendidikan dan Sosial Masyarakat Meureudu, Aceh

OPINI - Pidie Jaya, Dalam kehidupan pendidikan kita hari ini, nilai akademis masih dianggap sebagai tolok ukur utama kecerdasan anak. Mereka yang mendapat nilai tinggi sering dipuji sebagai anak pintar, sementara yang nilainya biasa saja dianggap kurang berprestasi.

Namun, pandangan seperti ini perlahan mulai dipertanyakan. Banyak pakar pendidikan dan psikologi, seperti Daniel Goleman, mengingatkan bahwa kecerdasan manusia tidak bisa disederhanakan hanya dalam bentuk angka-angka ujian.

 "Kita mengagungkan nilai akademis seolah-olah itu satu-satunya ukuran kecerdasan," tulis Goleman dalam bukunya yang sangat dikenal, Emotional Intelligence.

Cerdas Itu Banyak Bentuknya

Konsep kecerdasan sebenarnya jauh lebih luas. Howard Gardner, profesor dari Universitas Harvard, memperkenalkan teori Multiple Intelligences, yang menyatakan bahwa kecerdasan manusia memiliki banyak bentuk: ada yang pandai berhitung, ada yang unggul dalam seni, ada yang cakap berinteraksi sosial, bahkan ada yang sangat memahami diri sendiri.

Konsep pendidikan menekankan pada pembebasan, pembentukan karakter, dan pengembangan potensi anak secara menyeluruh. Pendidikan diartikan sebagai usaha kebudayaan yang bertujuan menuntun kekuatan kodrat anak agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan. - Ki Hajar Dewantara 

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih lebih menghargai kecerdasan akademik seperti logika dan bahasa dibandingkan bentuk kecerdasan lainnya. Anak-anak yang berbakat secara kreatif atau emosional sering kali tidak dianggap “berprestasi”, hanya karena tidak mencetak angka tinggi di ujian.

Dampak Sosial, Ketimpangan dan Rasa Tidak Adil

Pandangan sempit ini tidak hanya memengaruhi anak, tapi juga menciptakan ketimpangan sosial. Dalam pandangan sosiolog Pierre Bourdieu, nilai akademis telah menjadi “modal simbolik” yang menentukan siapa yang dihargai, dan siapa yang dianggap gagal. Akibatnya, anak-anak dari latar belakang tertentu yang tidak sesuai dengan sistem dominan ini, tersingkir secara sosial.

Dampak Psikologis, Anak Takut Gagal dan Hilang Percaya Diri

Banyak anak yang cerdas dalam bidang lain justru tumbuh dengan perasaan tidak mampu hanya karena tidak cocok dengan sistem ujian. Data dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) menunjukkan peningkatan kecemasan di kalangan pelajar, akibat tekanan capaian akademik yang tinggi. Di Indonesia, fenomena ini juga nyata. Psikolog Ratih Ibrahim mencatat bahwa burnout dan tekanan emosional akibat nilai mulai dialami anak sejak usia SD.

Pendidikan Harus Menyenangkan dan Membahagiakan

Pendidikan bukan hanya tentang belajar, tapi tentang tumbuh. Anak-anak seharusnya pergi ke sekolah dengan perasaan antusias, bukan cemas atau takut gagal. Suasana belajar yang menyenangkan dan membahagiakan menjadi kunci agar mereka merasa dihargai sebagai pribadi, bukan sekadar murid penghafal teori.

Belajar yang menggembirakan akan mendorong anak untuk bertanya, bereksplorasi, dan berkembang sesuai keunikannya. Guru yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang hangat dan penuh apresiasi akan membuat proses pendidikan menjadi pengalaman emosional yang positif. Dan dari pengalaman yang positif inilah lahir pembelajar sejati bukan karena takut nilai jelek, tapi karena mencintai pengetahuan.

Pendidikan Seharusnya Membimbing, Bukan Menekan

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membimbing anak sesuai potensinya, bukan menyeragamkan mereka untuk memenuhi standar kaku. Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil, menekankan bahwa pendidikan harus menjadi proses pembebasan membantu manusia mengenal dirinya, lingkungannya, dan perannya dalam kehidupan.

Solusi, Kembalikan Hak Anak untuk Tumbuh Sesuai Potensi

Beberapa langkah solutif yang dapat dilakukan:

1. Sekolah membuka ruang untuk bentuk kecerdasan non-akademik.
2. Guru diberi pelatihan tentang kecerdasan majemuk dan pendidikan berbasis karakter.
3. Orang tua diajak untuk menjadi pendamping, bukan penekan capaian.
4. Sistem evaluasi dibuat lebih holistik, tidak hanya mengandalkan ujian tertulis.

Nilai Penting, Tapi Bukan Segalanya

Nilai akademis memang penting, tapi bukan segalanya. Anak-anak kita memiliki dunia yang luas dalam diri mereka. Ada yang akan menjadi seniman, pemimpin, teknisi, petani, perawat, hingga guru dan semua itu membutuhkan bentuk kecerdasan yang berbeda.

Maka, marilah kita berhenti memaksa mereka menjadi seragam. Pendidikan yang memuliakan potensi, membahagiakan proses, dan merayakan keberagaman adalah pendidikan yang sejati.

Penulis adalah Pengurus Pemuda ICMI Aceh dan Pemerhati Pendidikan dan Sosial Masyarakat. Tinggal di Pidie Jaya