23 Agustus 2025
Kisah

Rompi Oranye, Cermin Retak Para Pejabat

Foto : Dok. Google Images | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDHilang sudah wibawa seorang pejabat negara. Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang dulu garang kala menegur perusahaan nakal, kini berdiri rapuh dengan rompi oranye dan tangan terborgol. Tangisnya pecah di hadapan publik, sebuah ironi pahit dari sosok yang pernah dielu-elukan sebagai pembela buruh.

Sosok yang dulu tegap dengan suara lantang kini berdiri rapuh dalam rompi oranye, tangan terikat borgol, mata basah oleh air mata. Gambaran itu bagai sebuah drama getir, di mana kekuasaan runtuh hanya dalam hitungan detik, meninggalkan bayangan penyesalan yang tak lagi bisa ditebus.

Langkahnya gontai, kepala menunduk, bibir terlipat kaku menahan sesal. Tak ada lagi sorot tegas yang pernah menyalakan harapan. Yang tersisa hanyalah wajah sendu, seolah berkata,  “Andai waktu bisa kembali, aku tak akan memilih jalan ini.” Tetapi sejarah tak pernah bisa ditulis ulang, ia hanya menyisakan luka dan pelajaran pahit.

Penyesalan selalu datang terlambat. Tangis di balik borgol itu bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan potret manusia yang kalah oleh godaan. Ironi pun terasa lengkap, sosok yang dulu berdiri membela kebenaran justru tergelincir melukai keadilan. Bagi rakyat kecil, itu adalah pengkhianatan yang membekas lebih dalam daripada hukuman.

Kepercayaan rakyat bagai kaca bening, sekali pecah, retaknya abadi. Mereka yang dulu menaruh harapan kini hanya bisa menggeleng kecewa. Rompi oranye itu bukan sekadar seragam tahanan, melainkan simbol retaknya amanah, runtuhnya martabat, dan lenyapnya harga diri. Sebuah tanda bahwa kekuasaan tak pernah benar-benar abadi.

Namun tragedi ini juga mengingatkan kita, bahwa jabatan bukan kemuliaan, melainkan ujian. Kekuasaan bukan kesempatan memperkaya diri, tetapi tanggung jawab yang menuntut kesetiaan pada nurani. Mereka yang lalai menjaga diri akan menemukan kenyataan pahit, bahwa uang dan kuasa hanya bertahan sebentar, sementara aib dan penyesalan menetap lebih lama.

Hari itu, rompi oranye merenggut wibawa seorang pejabat. Tetapi bagi kita semua, ia lebih dari sekadar kisah kejatuhan. Ia adalah cermin retak yang menatap lurus ke wajah setiap pemegang kuasa, berhati-hatilah, sebab sekali tergelincir, tak hanya jabatan yang hilang, melainkan juga nama, keluarga, dan martabat yang tak pernah kembali. (**)