Drama Pokir Di Panggung Defisit Anggaran
Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Disaat pemerintah pusat sibuk melakukan efisiensi anggaran demi menjaga stabilitas fiskal nasional, sebuah ironi besar justru dipertontonkan oleh para wakil rakyat di salah satu kabupaten yang tengah dililit defisit. Di ruang-ruang sejuk ber-AC, para “tuan dewan” justru sibuk mengajukan tambahan anggaran pokok pikiran (pokir) bukan untuk menyelamatkan daerah dari krisis keuangan, tetapi untuk menambah pundi-pundi jatah pribadi yang dibungkus dengan nama “aspirasi rakyat”.
Yang lebih mencengangkan, jumlah yang diminta pun bukan main. Pimpinan dewan minta tambahan nyaris Rp20 miliar, ketua fraksi minta Rp3 miliar, dan para anggota dewan lainnya masing-masing merengek jatah Rp2 miliar. Padahal, kondisi keuangan daerah sedang megap-megap. Defisit anggaran sudah di depan mata, namun seolah mereka menutup mata, mereka tetap kukuh dengan tuntutan anggaran aspiratif yang lebih mirip daftar belanja pribadi.
Dengan mudah mereka berdalih bahwa pokir adalah titipan rakyat, hasil dari serap aspirasi selama reses. Tapi publik tidak bodoh. Mereka tahu, banyak usulan dalam pokir yang disusun secara top-down, tak pernah dibahas bersama rakyat secara transparan, dan lebih sering dijadikan bancakan proyek oleh segelintir elite lokal dan kroninya.
Inilah wajah demokrasi yang menyedihkan, ketika “representasi” berubah menjadi “represi” anggaran. Ketika aspirasi berubah jadi ambisi, dan kepentingan publik digadaikan demi kenyamanan segelintir elit yang merasa punya kuasa menentukan arah kebijakan daerah, tanpa logika fiskal maupun empati sosial.
Seharusnya, dalam situasi genting seperti ini, para legislator menjadi garda terdepan menjaga kewarasan anggaran. Mereka harusnya memangkas belanja yang tidak penting, menunda proyek-proyek seremonial, dan fokus pada pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan penyelamatan ekonomi rakyat kecil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Yang lebih getir, suara-suara kritis di internal dewan malah dibungkam dengan tekanan dan dikucilkan dari arus utama pembahasan anggaran. Solidaritas sesama anggota DPRK hanya berlaku jika satu suara mendukung "jatah pokir", bukan dalam hal mengoreksi arah kebijakan yang menyesatkan. Mereka lebih takut kehilangan jatah proyek daripada kehilangan muka di hadapan rakyat.
Tak heran jika publik mulai muak. Kepercayaan terhadap lembaga legislatif makin menipis. Di mata masyarakat, dewan bukan lagi simbol pengawasan dan pengambilan kebijakan, melainkan sekadar institusi tukang minta anggaran, dengan tabiat seperti pengusaha yang menghitung untung rugi dari setiap lembar APBK.
Bukan tidak boleh mengusulkan program, tapi harus realistis dan proporsional. Jangan sampai pokir yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan, justru berubah menjadi mesin pencetak proyek titipan. Dalam sistem yang sehat, pokir harus berbasis data, hasil musyawarah, dan dikawal akuntabilitas. Bukan asal titip, asal cair, asal jadi.
Kini, masyarakat menunggu langkah tegas dari kepala daerah dan aparat penegak hukum. Jangan biarkan APBK disandera oleh nafsu elite. Jika tidak, maka defisit fiskal hanyalah permulaan dari defisit kepercayaan yang lebih parah yang akan menggerus legitimasi politik di level lokal dan nasional.
Rakyat tidak butuh janji. Mereka butuh keadilan anggaran. (TS)