Bupati Pidie Jaya Main Tunggal di Lapangan KONI: Ketika Kekuasaan Tak Lagi Punya Wasit
Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Di Pidie Jaya, tampaknya demokrasi tak lagi berdiri tegak, tapi justru dipaksa push-up oleh kekuasaan. Bupati Sibral Malasyi, tanpa keringat dan tanpa lawan, dinobatkan sebagai Ketua KONI 2025-2029. Tak ada kontestasi, tak ada adu visi, tak ada seleksi hanya satu nama, satu jalan, satu penguasa. Aklamasi pun disulap menjadi selebrasi, meski panggungnya lebih cocok disebut panggung pengabsahan kekuasaan daripada musyawarah olahraga.
KONI seharusnya menjadi arena netral bagi prestasi olahraga, bukan lahan subur bagi konsolidasi kekuasaan. Tapi di tangan Bupati, lembaga ini diubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Seperti seorang wasit yang tiba-tiba ikut mencetak gol, lalu memimpin perayaan, pemilihan Ketua KONI ini berlangsung tanpa sedikit pun rasa malu. Tertib secara prosedural, tapi cacat secara etika. Dan sayangnya, semua itu berlangsung di aula Kantor Bupati. Netralitas tampaknya sudah lama dilipat dan disimpan di laci meja kekuasaan.
Salah seorang teman aktivis muda di Pidie Jaya, bersuara lantang di tengah sunyinya ruang publik. Ia tak sibuk menghitung pasal hukum, tapi sibuk mencari ke mana perginya moral publik. Sebab, ketika hukum dilonggarkan dan etika disingkirkan, maka jalan kekuasaan terbuka lebar bagi siapa pun yang cukup lihai untuk mengambilnya. “Ini bukan soal boleh atau tidak,” kata dia kepada penulis, “tapi soal pantas atau tidak.” Dan di Pidie Jaya, kepantasan seolah tak lagi masuk dalam daftar pertimbangan.
Kini Sibral Malasyi bukan hanya Bupati, tapi juga Ketua KONI. Dan jika itu belum cukup mengundang tanya, coba tanyakan siapa yang menyusun, mengusulkan, dan mengelola anggaran hibah untuk KONI? Jawabannya dia juga. Maka yang kita saksikan bukan sekadar konflik kepentingan, tapi praktik self-dealing yang terang-terangan. Demokrasi di Pidie Jaya seolah berkata “Mengapa berbagi kekuasaan, kalau bisa digenggam semua?”
Lebih ironis lagi, salah seorang Kabid di Disporapar Pidie Jaya berdalih bahwa semua ini sudah sesuai mekanisme. Dalam Rapat Kerja KONI, syarat telah diumumkan calon harus berpengalaman di organisasi olahraga. Tapi mari jujur, siapa yang bisa berani mencalonkan diri, ketika lawannya adalah Bupati yang mengendalikan anggaran, jalur kekuasaan, dan bahkan ruangan tempat pemilihan? Maka meski “syarat” sudah diumumkan, hasilnya sudah bisa ditebak sejak awal, satu nama, satu jalan, tanpa tanding.
Ini bukan demokrasi. Ini oligarki miniatur yang disamarkan dalam rapat-rapat formal. Rapat yang seharusnya menjadi ruang deliberasi, berubah menjadi panggung pelafalan takdir politik. Mereka menyebutnya aklamasi, tapi sebenarnya itu hanya eufemisme dari dominasi. Ketika lawan dibungkam bukan dengan senjata, tapi dengan sistem yang dibuat steril dari kontestasi.
Dalam struktur pemerintahan yang sehat, peran eksekutif dan organisasi masyarakat sipil seperti KONI seharusnya dipisah. Tapi Sibral tampaknya punya pendekatan lain dengan menyatukan semua lini agar tak ada satu pun ruang yang lolos dari genggamannya. Di balik dalih efisiensi dan pengabdian, tersembunyi ambisi konsolidasi kekuasaan yang nyaris totaliter dalam wujud lokal.
Kehancuran demokrasi tidak selalu datang lewat kudeta atau pembubaran parlemen. Ia bisa datang perlahan, lewat pembiaran, lewat aklamasi-aklamasi yang penuh tepuk tangan tapi hampa makna. Ketika publik diam, ketika sistem disesuaikan demi kemudahan sang penguasa, maka demokrasi perlahan mati bukan dengan ledakan, tapi dengan tepukan palsu dari orang-orang yang sudah terlalu lelah untuk melawan.
Dan jika ada yang bertanya apakah ini bersih-bersih politik? Jawabannya mungkin iya, bersih dari lawan, bersih dari kritik, bersih dari semangat sportivitas. Tapi kotor oleh aroma kepentingan yang menyusup ke setiap sudut organisasi. Pidie Jaya mungkin mencatat sejarah baru, tapi bukan sejarah prestasi, melainkan sejarah bagaimana sebuah ruang publik dijadikan ruang privat oleh seorang pejabat publik.
Kita hidup di era ketika kekuasaan bisa menulis aturan, menjalankan aturan, dan sekaligus mengklaim moral tinggi di atasnya. Tapi di balik aklamasi ini, publik tahu, yang terjadi bukan demokrasi, tapi dominasi. Dan dominasi yang dibungkus prosedur adalah bentuk baru dari otoritarianisme yang tak disadari, tapi perlahan membunuh kewarasan publik. (TS)