Bersama Tgk. Imum Ilyas, Petani Labu Legendaris yang Menanam Semangat Sumpah Pemuda!
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Di sebuah siang yang hangat, Selasa (28/10/2025), suasana Warkop Simpang Beuracan Meureudu berubah menjadi ruang penuh makna. Di sana duduk Tgk. Imum Ilyas, lelaki berusia 99 tahun yang menjadi saksi perjalanan panjang bangsa. Mantan Keuchik sekaligus Imum Meunasah Grong-Grong, Beuracan, yang menjabat sejak tahun 1963 itu kini lebih dikenal masyarakat sebagai petani labu yang melagenda, sosok sederhana yang mengajarkan nilai hidup dari tanah yang ia garap dengan penuh cinta dan ketulusan.
Dengan tubuh renta namun suara masih tegas, Tgk. Imum berbicara tentang semangat perjuangan dan makna Sumpah Pemuda. “Dulu kami membangun kampung dengan tenaga, bukan dengan kata-kata,” ujarnya sambil menatap jauh ke arah Mesjid Tgk. Di Pucok Krueng di seberang jalan. “Pemuda dulu tidak sibuk berdebat, tapi turun tangan. Mereka menanam, membangun meunasah, dan menjaga persaudaraan.” Kalimat itu mengalir seperti sungai tua yang tenang, namun kuat membawa arus semangat kebersamaan.
Baginya, Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah untuk dikenang, melainkan janji yang harus dihidupkan kembali setiap hari. Ia memandang para pemuda yang duduk di pojok warung dan menasihati, “Kalau kalian cinta negeri ini, jangan hanya berbicara. Tunjukkan lewat kerja. Bantu sesama, cintai tanah, dan jaga nama baik kampung. Itulah perjuangan zaman sekarang.” Kata-kata itu disambut hening, seolah setiap orang sedang menelan hikmah yang dalam.

Tgk. Imum Ilyas tak hanya berbicara tentang semangat kebangsaan, tapi juga menyinggung nilai-nilai iman. “Agama itu bukan hanya ibadah di meunasah,” tuturnya lembut. “Agama itu juga cara kita memperlakukan tanah, tanaman, dan manusia lain. Kalau hatimu bersih, rezekimu juga akan bersih.” Ucapannya mencerminkan keseimbangan antara keislaman dan kearifan lokal, antara ibadah dan kerja keras.
Sebagai petani labu, Tgk. Imum Ilyas dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga. Labunya bukan sekadar hasil panen, tetapi simbol kerja keras dan kesabaran. “Tanah itu ciptaan Allah juga,” katanya sambil tersenyum. “Dia tahu siapa yang menanam dengan hati, dan siapa yang menanam dengan tamak.” Ia masih hafal kapan waktu terbaik menanam, bagaimana memilih bibit unggul, dan cara menjaga tanah agar tetap subur tanpa merusaknya. Dari kebunnya yang sederhana, lahir panen yang melimpah dan kisah yang menyejukkan.
Warung kopi siang itu berubah menjadi ruang belajar lintas generasi. Pemuda mendengarkan dengan kagum, seolah tiap kalimat Tgk. Imum adalah warisan yang tak ternilai. Di balik keriput wajahnya tersimpan semangat yang tak pudar, semangat yang telah menuntun dirinya melalui masa-masa sulit, dari tahun 1960-an hingga era modern kini.
Dalam setiap petuahnya, Tgk. Imum Ilyas menanamkan api perjuangan yang sama dengan yang diikrarkan para pemuda pada 1928. Ia percaya bahwa kemerdekaan sejati hanya akan tumbuh jika generasi muda mau mencintai tanahnya, memelihara imannya, dan menanam harapan di ladang kehidupan. “Sumpah Pemuda itu bukan hanya tentang bahasa dan bangsa,” ujarnya menutup percakapan, “tapi tentang keberanian menjaga yang diwariskan Allah, yakni tanah, akhlak, dan persaudaraan.”
Menjelang sore, saat kopi mulai dingin dan cahaya matahari menembus sela atap warkop, Tgk. Imum Ilyas tersenyum kecil. Ia menatap jalan kampung yang dilalui anak-anak sekolah dan berucap pelan, “Selama pemuda masih mau belajar dan bekerja dengan hati, Aceh dan Indonesia akan tetap subur.” Sebuah kalimat sederhana, tapi berakar kuat seperti labu-labunya yang tumbuh kokoh di tanah yang ia cintai sepanjang hidupnya. (**)








