18 Tahun Mengabdi, Honorer Pidie Jaya Masih Dianggap Bayangan
Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh: Muhammad – Warga Pidie Jaya
OPINI - Nasib tenaga honorer di Pidie Jaya memang tak ubahnya buah simalakama. Mereka sudah bekerja bertahun-tahun, namun tetap tidak jelas arah masa depan mereka. Bahkan, banyak dari mereka yang masa baktinya sama tuanya dengan umur kabupaten itu sendiri 18 tahun. Namun selama itu pula, nasib mereka nyaris tidak berubah. Gaji yang tak seberapa, status yang tak pasti, dan pengakuan yang samar. Ironisnya, di tengah jargon-jargon perubahan yang digaungkan oleh pemerintah saat ini, para honorer tetap terpinggirkan.
Padahal, keberadaan tenaga honorer di Pidie Jaya bukan sekadar pelengkap. Mereka adalah jantung dari banyak aktivitas administrasi dan pelayanan publik. Tanpa mereka, roda birokrasi lumpuh. Hampir semua pekerjaan teknis di kantor-kantor pemerintah daerah digerakkan oleh tangan-tangan honorer. Tapi ketika bicara soal kesejahteraan, mereka selalu menjadi prioritas paling akhir. Seolah kontribusi mereka tak pernah cukup untuk dihargai secara adil.
Pemerintah daerah berdalih tak memiliki anggaran untuk mengangkat para honorer menjadi ASN atau PPPK. Tapi anehnya, untuk membangun fasilitas-fasilitas mewah dan membiayai berbagai kegiatan seremonial, anggaran selalu tersedia. Bukankah ini bentuk ironi? Ketika pejabat bisa menikmati ruangan ber-AC dan mobil dinas, para honorer tetap dihargai dengan selembar kontrak tahunan dan upah yang bahkan tak setara dengan UMK.
Lebih menyakitkan lagi, ketika pemerintah pusat memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengusulkan formasi PPPK, Pidie Jaya justru minim inisiatif. Tahun lalu, dari ratusan tenaga honorer, hanya 171 formasi yang diusulkan. Itu pun mayoritas untuk guru dan tenaga kesehatan. Tenaga teknis, yang memikul beban besar di balik layar pemerintahan, hanya diberikan 18 formasi. Padahal, diperkirakan sekitar 70% pekerjaan teknis di kantor-kantor dikerjakan oleh mereka.
Apakah ini cermin ketidakpedulian atau sekadar malas menyusun kebijakan yang adil? Bukankah sudah waktunya pemerintah melihat para honorer sebagai aset, bukan beban? Dengan mengangkat mereka menjadi PPPK, tidak hanya kesejahteraan mereka yang meningkat, tetapi juga mutu pelayanan publik. Tenaga kerja yang dihargai akan bekerja lebih baik. Efisiensi birokrasi pun bisa lebih tercapai.
Sebagai warga Pidie Jaya, kita tentu menaruh harapan besar kepada pemimpin daerah. Tapi harapan itu tidak bisa terus menggantung. Setiap tahun selalu terdengar janji, tapi janji itu hanya berputar seperti rekaman rusak. Yang dibutuhkan bukan lagi wacana, melainkan langkah nyata. Jika benar pemerintah berkomitmen pada perubahan, maka mulailah dari memperjuangkan nasib mereka yang sudah lama mengabdi tanpa kepastian.
Jika tidak ada keberanian politik dari pemimpin daerah, maka nasib para honorer akan terus seperti ini, bekerja dalam sunyi, dilupakan dalam perencanaan, dan dibuang dalam perekrutan. Lebih ironis lagi, saat kampanye tiba, mereka diingat kembali sebagai potensi suara. Tapi selepas pilkada, mereka kembali menjadi angka statistik tanpa wajah dan tanpa nama.
Formasi PPPK bukan sekadar angka, tapi peluang keadilan. Jika pemerintah daerah benar-benar peduli terhadap kesejahteraan masyarakat, seharusnya honorer menjadi prioritas. Sebab selama ini, mereka telah memberi banyak, tapi menerima sedikit. Mereka telah menopang, tapi tidak ditopang. Mereka telah setia, tapi tak pernah benar-benar dipercaya.
Di usia Pidie Jaya yang ke-18 ini, seharusnya ada refleksi besar, apakah kita akan terus memperpanjang ketidakadilan ini, atau mulai menata ulang sistem yang memberi tempat lebih layak bagi para honorer? Jangan sampai sejarah mencatat bahwa pemerintah hari ini hanya pandai membuat janji, tapi lupa menjalankan janji itu kepada orang-orang yang paling berjasa.
Sudah saatnya para pemimpin Pidie Jaya menyadari bahwa perubahan bukan soal slogan, tapi tentang keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada yang tertindas. Karena jika bukan sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan mereka yang memperjuangkan para honorer, siapa lagi?