17 Tahun Pidie Jaya: Dana Aspirasi Dikuras, Rakyat Gigit Jari!
Foto : Miswar Yusuf, Warga Pidie Jaya, Aceh | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - Sejak lahirnya Pidie Jaya pada tahun 2007 sebagai Kabupaten, harapan dan impian masyarakat akan percepatan pembangunan infrastruktur serta peningkatan kesejahteraan semakin tinggi.
Namun, setelah 17 tahun berjalan, tampaknya perkembangan yang diinginkan belum tercapai secara signifikan. Salah satu masalah besar yang sering mencuat adalah terkait pengelolaan dana aspirasi yang tidak transparan dan cenderung disalahgunakan. Infrastruktur jalan dan jembatan, misalnya, masih berada dalam kondisi yang memprihatinkan diberbagai pelosok desa.
Proyek tambal sulam yang dilakukan setiap tahun untuk jalan terobosan menuju areal perkebunan pemilik aspirasi hanya bersifat sementara dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Anggaran dialokasikan berulang kali untuk perbaikan, namun kualitas pekerjaan selalu diragukan. Hal ini memicu kecurigaan masyarakat bahwa ada permainan di balik proyek ini, dimana anggaran besar hanya mengalir untuk keuntungan pihak-pihak tertentu.
Selain infrastruktur jalan, pengelolaan dana aspirasi juga kerap disalahgunakan disektor perikanan dan kelautan, pertanian, dan perkebunan dan peternakan.
Pengadaan bibit untuk nelayan, petani dan petani tambak, misalnya, sering kali tidak tepat sasaran. Kelompok nelayan dan petani yang seharusnya menjadi penerima bantuan, malah dikuasai oleh "Kelompok Bayangan" yang sudah lebih dulu dikondisikan.
Kelompok-kelompok ini tidak mewakili penerima manfaat yang sebenarnya membutuhkan bantuan, melainkan hanya formalitas untuk menyalurkan dana aspirasi kepada pihak yang berkepentingan.
Bantuan yang diterima pun minim, tidak sesuai dengan alokasi yang direncanakan, sehingga petani yang membutuhkan tidak mendapatkan manfaat maksimal.
Hal serupa terjadi dalam program bantuan untuk kelompok peternak. Banyak kelompok peternakan yang diduga hanya terbentuk demi memanfaatkan aliran dana aspirasi.
Dalam satu kelompok yang terdiri dari lima hingga sepuluh orang, misalnya, bantuan yang seharusnya berupa ternak ayam, bebek, kambing dan sapi sering kali tidak diterima secara utuh oleh anggota kelompok.
Menurut cerita warga yang juga penerima manfaat bahwa setiap anggota kelompok hanya mendapatkan satu atau dua sapi, kemudian dibagikan dengan jumlah anggota kelompok, masing-masing mereka hanya mendapatkan satu kaki sapi, selebihnya dinikmati oleh sang pemilik aspirasi, parahnya lagi bahkan ada kelompok yang yang melakukan serah terima barang dikandang sapi milik orang lain, usai foto-foto serah terima si pemilik kandang hanya dikasih uang seadanya, begitu juga dengan kelompok ternak yang lain.
Seharusnya mereka menerima ternak dalam jumlah yang jauh lebih besar. Bantuan yang diserahkan secara formal lebih banyak daripada yang diterima oleh kelompok peternak, dan hal ini menjadi bukti nyata adanya ketidakberesan dalam pengelolaan dana pokir (pokok pikiran) aspirasi.
Dana pokir yang merupakan hak rakyat sepenuhnya, sebenarnya dititipkan di berbagai dinas dan instansi untuk dilaksanakan sesuai kebutuhan masyarakat.
Namun, dinas-dinas tersebut sering kali tidak berdaya menghadapi tekanan dari para "Pemilik Aspirasi." Mereka yang seharusnya menjalankan program berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat, justru harus mengikuti kehendak oknum-oknum tertentu yang berusaha memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Walaupun para Kabid dan Kepala Dinas, tahu betul bahwa dana tersebut adalah milik rakyat, mereka tidak memiliki kuasa untuk menolak atau mengubah pelaksanaannya, karena dana aspirasi dianggap sebagai "JATAH POLITIS" yang harus dijalankan sesuai perintah si pemilik aspirasi.
Salah satu pertanyaan mendasar yang muncul adalah, dimana peran Bupati, Wakil Bupati dan Inspektorat selaku pemerintah daerah, yang betanggung jawab penuh dalam mengawasi penggunaan dana ini? Bupati dan wakil Bupati sebagai kepala daerah memiliki kewenangan untuk memastikan bahwa setiap dana yang masuk, termasuk dana aspirasi, dikelola dengan transparan dan tepat sasaran.
Namun, dalam praktiknya, banyak yang meragukan keseriusan pemerintah daerah dalam menjalankan pengawasan ini.
Apalagi, Kepala Dinas yang menjabat di berbagai sektor merupakan orang-orang yang diangkat karena latar belakang akademis yang mumpuni, dengan gelar master bahkan doktor. Mereka seharusnya mampu menjalankan tugas secara profesional dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
Namun, realitasnya, profesionalisme ini tampaknya tidak banyak terlihat ketika berbenturan dengan kepentingan politik. Ketidakmampuan dinas dalam menolak intervensi politik menunjukkan bahwa sistem birokrasi di Pidie Jaya masih rentan terhadap tekanan pihak-pihak yang memiliki kuasa.
Hal ini mencerminkan lemahnya sistem kontrol dan pengawasan dalam pemerintahan daerah, di mana mekanisme checks and balances seakan tidak berjalan efektif. Akibatnya, pelaksanaan program yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan rakyat, malah dijalankan demi kepentingan kelompok tertentu.
Jika praktik semacam ini terus dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari Bupati, Dinas terkait dan Aparat Penegak Hukum (APH), maka tidak akan ada perubahan signifikan yang terjadi di Pidie Jaya. Kemajuan yang diharapkan oleh masyarakat, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan, akan semakin jauh dari kenyataan.
Perbaikan sistem pengelolaan dana aspirasi harus menjadi prioritas utama dalam Pilkada 2024, di mana masyarakat perlu memilih pemimpin yang berani memutus mata rantai penyalahgunaan dana publik dan memastikan bahwa setiap anggaran yang dialokasikan benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat.
Oleh : Miswar
Warga Pidie Jaya - Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI)