Teuku Rasyidin: Pusat Jangan Cari Masalah dengan Aceh
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia yang menyerahkan empat pulau dari wilayah Aceh kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) memicu kritik keras dari berbagai kalangan.
Salah satunya datang dari pakar hukum tata negara, Dr. Teuku Rasyidin, SH., MH, yang menilai langkah tersebut berpotensi merusak hubungan pusat dan daerah, khususnya dengan Aceh.
"Pusat jangan cari masalah dengan Aceh. Ini bukan semata soal batas wilayah, tetapi menyangkut harga diri dan kedaulatan daerah," tegas Teuku Rasyidin dalam keterangannya kepada media, Sabtu (31/5/2025).
Menurutnya, keputusan tersebut menyentuh luka sejarah yang masih membekas di hati masyarakat Aceh. Ia menyinggung masa lalu Aceh yang pernah menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara, sebelum akhirnya memperoleh status istimewa dan otonomi khusus sebagai hasil dari perjanjian damai pasca konflik berkepanjangan.
"Kebijakan seperti ini membuka kembali luka lama. Pemerintah pusat harus belajar dari sejarah dan tidak mengulangi kesalahan yang dapat memperburuk suasana," ujarnya.
Empat pulau yang dimaksud berada di wilayah perairan yang selama ini dikelola secara administratif oleh Pemerintah Aceh.
Teuku Rasyidin menegaskan, tidak hanya pemerintah, masyarakat adat juga memiliki keterlibatan langsung dalam pengelolaan wilayah tersebut.
Ia bahkan mengungkap bahwa dirinya merupakan keluarga besar Raja Udah, pihak yang secara historis sejak kesultanan Aceh disebut sebagai pemilik sah atas empat pulau tersebut.
Keluarga ini, katanya, masih menyimpan dokumen kepemilikan yang diwarisi dari kesultanan Aceh dan bukti pendaftaran tanah yang menguatkan bahwa pulau-pulau itu merupakan bagian integral dari Aceh.
"Penguasaan fisik empat pulau itu masih dipegang oleh keturunan Raja Udah yang kini bermukim di Medan dan Bakongan, Aceh. Ini bukan sekadar klaim sepihak, tapi ada dasar hukum dan historisnya," paparnya.
Dr. Teuku Rasyidin mendesak Kemendagri untuk membuka secara transparan seluruh dokumen dan dasar hukum yang menjadi acuan dalam pengambilan keputusan tersebut.
Selain itu, Ia juga meminta Pemerintah Aceh untuk tidak tinggal diam, melainkan segera mengambil langkah hukum dan politik untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.
"Masyarakat Aceh berhak tahu alasan pengalihan ini. Jika keputusan ini dipaksakan tanpa dasar yang kuat, maka potensi munculnya ketegangan baru sangat besar," tambahnya.
Doktor jebolan USU tersebut turut menekankan pentingnya pendekatan yang bijak dan terbuka dari pemerintah pusat dalam menyikapi isu sensitif ini.
"Jika tidak ditangani secara arif, kebijakan ini bisa menjadi bom waktu di tengah upaya rekonsiliasi dan pembangunan Aceh pasca konflik dan Tsunami," ucapnya.
Lebih lanjut, Teuku Rasyidin menyoroti waktu pengambilan keputusan tersebut bertepatan dengan masa jabatan Penjabat (Pj) Gubernur Aceh. Ia menilai, hal ini menimbulkan kecurigaan publik dan menjadi catatan tersendiri bagi rakyat Aceh.
Secara khusus, ia menyebut nama Dr. Safrizal ZA, M.Si, yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kemendagri.
Dr. Safrizal juga diketahui pernah menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh sejak 22 Agustus 2024 hingga 12 Februari 2025.
"Keputusan ini terjadi di bawah kepemimpinan putra Aceh sendiri yang berada di posisi strategis lingkungan Kemendagri Republik Indonesia. Ini tentu menjadi ironi dan sebuah catatan hitam bagi rakyat Aceh terhadap figur yang semestinya memahami dan melindungi kepentingan daerahnya," tutup Teuku Rasyidin. (**)