Politik Tanpa Spritualitas Akan Ciptakan Kehancuran Moral
Foto : Hamdani, Pemerhati Kebijakan Publik | LIPUTAN GAMPONG NEWS
OPINI - "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS Ar Rum: 41)
Tafsir Tahlili Kementerian Agama RI menjelaskan, larangan berbuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti merusak pergaulan (ukhuwah islamiah, persatuan dan kesatuan bangsa), jasmani dan rohani orang lain, kehidupan dan sumber-sumber penghidupan (pertanian, perdagangan, dan lain-lain), termasuk merusak lingkungan.
Syahdan! Tahun politik sedang berlangsung. Jika tidak ada penundaan atau pemunduran, jadwal pemungutan suara pemilu akan berlangsung di tahun depan. Artinya tersisa beberapa bulan lagi menuju pencoblosan.
Pemilu kali ini akan dilakukan secara serentak se Indonesia, baik untuk pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden/wakil presiden. Sekaligus dilakukan pemilihan kepala daerah. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang pernah dilaksanakan secara terpisah.
Sudah lazim apabila menjelang masa pemilu, demam politik begitu menjangkiti masyarakat. Tak jarang di warung-warung kopi kerap membahas isu-isu politik teraktual.
Selain masyarakat umum, wabil khusus partai politik juga sibuk menyiapkan calon-calon anggota legislatif yang bakal diajukan dalam pileg mendatang. Begitu pula dengan pasangan bacapres yang akan diusung.
Antusiasme masyarakat Indonesia menyambut pemilu sangat terasa terutama di media sosial. Netizen saban hari mendiskusikan sosok-sosok yang dipandang layak untuk mengisi kursi legislatif dan eksekutif yang dapat membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju, adil, sejahtera, dan terbebas dari belenggu asing.
Ketertarikan masyarakat terhadap politik sudah menjadi satu keniscayaan. Apalagi efeknya dapat berdampak terhadap kehidupan masa depan bangsa kedepan dalam jangka panjang. Karena terkait dengan kekuasaan dan jaminan hak-hak dasar warga.
Islam bahkan menyebut politik dengan istilah Siyasah yang bermakna mengatur segenap urusan umat. Sehingga begitu pentingnya memperhatikan tentang politik demi untuk kepentingan umat (publik).
Islam mendorong umatnya untuk memahami siyasah, dan menempatkan "kekuasaan" sebagai amanah untuk menyempurnakan pengabdian nya terhadap Allah SWT. Artinya Islam menempatkan kekuasaan hanya sebagai alat untuk menjalankan perintah Allah.
Menurut Zainullah dalam artikelnya menyebut orientasi utama politik Islam terkait dengan masalah kekuasaan yaitu tegaknya hukum-hukum Allah dimuka bumi, hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi ialah kekuasaan Allah. Sementara, manusia pada dasarnya sama sekali tidak memlliki kekuasaan. Bahkan Islam menentang adanya penguasaan absolut seorang manusia atas manusia yang lain.
Sebab itu Islam melarang mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak pantas apalagi secara haram. Karena hal itu bertentangan dengan makna dasar Islam yaitu damai dan sejahtera. Damai berarti dilakukan dengan cara-cara yang baik dan benar.
Berbeda dengan dunia barat yang memaknai politik sebagai “kekuasaan” yaitu kemampuan pemegangnya memeras pemenuhan atau ketaatan individu-individu lain terhadap kehendaknya atas dasar apa pun, kekuasaan telah dijadikan absolut dan berkuasa.
Dari kedua perspektif politik di atas tampak jelas bahwa keduanya ternyata memiliki perbedaan yang signifikan dalam menempatkan politik sebagai kekuasaan.
Lantas bagaimana perspektif politik Indonesia yang notabene masyarakat nya mayoritas Islam (muslim)?
Sejatinya ekosistem politik Indonesia diwarnai oleh nilai-nilai spiritualitas dan berbudaya luhur sebagai ciri khas kebangsaan kita. Para penyelenggara pemilu dituntut untuk mampu menempatkan kepentingan politik itu sejalan dengan nilai-nilai spiritual dalam pelaksanaannya.
Diantara hal yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pemilu sebagai pemegang amanah adalah tidak boleh ada politik kotor dengan membiarkan terjadinya money politics, suap menyuap, dan kecurangan apapun untuk memberikan keuntungan bagi kelompok tertentu dan mencurangi kelompok lainnya.
Pada titik ini standar proses mengalami fase krusial dimana kualitas hasil pemilu sangat ditentukan oleh bagaimana proses seleksi tahap pertama dilakukan. Disini prinsip clear and clean mutlak dijalankan oleh "ratu adil".
Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisaa’ ayat 105, artinya: ”Sesungguhnya Kami (Allah) menurunkan Kitab kepada engkau dengan sebenarnya, supaya engkau dapat mengadili manusia menurut yang telah diperlihatkan Allah kepada engkau. Janganlah engkau menjadi pembela orang-orang yang khianat.”
Adapun yang dimaksud dengan ”khianat” disini menurut Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo dalam tulisannya yaitu terutama sekali ialah khianat kepada al-Quran. Khianat terhadap Sunnah Rasul. Dan juga khianat kepada amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedangkan kamu mengetahuinya.
Begitu pula halnya dengan partai politik. Hendaknya prinsip demokrasi yang digaung-gaungkan itu benar-benar diterapkan bukan sekedar slogan semata. Artinya apapun keputusan partai harus didasari pada hasil musyawarah bersama secara adil dan terbuka bukan semata-mata ditentukan oleh ketua partai secara absolut.
Tentang prinsip musyawarah, Al-Qur’an mengajarkan, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 156)
Inilah sekilas nuansa politik yang harus dibaca oleh seluruh lapisan masyarakat. Politik samasekali tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang baik. Sekalipun di era modern nan canggih, firman Allah SWT tidak dapat ditinggalkan. Justru menjadikan firman itulah sebagai petunjuk bagi yang hak dan batil untuk mendapatkan pemimpin yang mampu menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.
Penulis: Hamdani, Pemerhati Kebijakan Publik