17 April 2025
Opini

Pemimpin Tanpa Kamera, Merakyat Bukan Sekadar Pencitraan

Foto : Dok. Google Image | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINIPemimpin yang merakyat tidak bisa hanya diukur dari seringnya ia muncul di tengah-tengah rakyat dengan kamera di belakangnya. Budaya "pencitraan" yang membudaya di banyak level pemerintahan hari ini seringkali mengaburkan makna sejati dari kepemimpinan yang berpihak. Pemimpin sejati adalah mereka yang bukan hanya hadir saat kamera menyala, tapi benar-benar mendengar, memahami, dan berani mengambil risiko demi kepentingan rakyatnya, meski tanpa sorotan publik sekalipun.

Di Indonesia, kita sering disuguhkan adegan pemimpin yang turun ke sawah, masuk ke pasar tradisional, atau menjenguk warga miskin. Tapi pertanyaannya, apakah itu cukup untuk dikatakan merakyat? Apa yang terjadi setelah kamera mati? Apakah kebijakan-kebijakan yang dibuat betul-betul menyentuh akar permasalahan masyarakat, atau hanya menambah lapisan baru dalam kesenjangan sosial dan ekonomi yang sudah lama membusuk?

Pemimpin yang merakyat tidak cukup hanya dengan gestur simbolik. Ia harus menjadi representasi dari jeritan rakyat, bukan sekadar pelakon dari naskah yang ditulis tim media. Dalam posisi eksekutif, pemimpin seharusnya hadir sebagai pengambil kebijakan yang berani menabrak kepentingan oligarki demi memperjuangkan nasib buruh, petani, nelayan, hingga masyarakat adat. Di legislatif, ia harus menjadi suara yang nyaring melawan ketidakadilan, bukan justru menjadi bagian dari sistem yang menindas.

Sayangnya, banyak yang duduk di kursi kekuasaan justru kehilangan keberpihakan itu. Mereka lebih sibuk menjaga citra ketimbang membenahi struktur. Mereka lebih takut kehilangan elektabilitas daripada kehilangan integritas. Padahal, rakyat tak butuh pemimpin yang sempurna, rakyat hanya butuh pemimpin yang jujur, peduli, dan punya nyali.

Kritik terhadap gaya kepemimpinan yang terlalu berorientasi pada pencitraan harus terus digaungkan. Rakyat harus cerdas membaca mana pemimpin yang benar-benar bekerja, dan mana yang hanya numpang eksis di tengah penderitaan. Kedaulatan rakyat tidak boleh direduksi menjadi ajang drama musiman lima tahunan. Demokrasi kita pantas mendapatkan pemimpin yang lebih dari sekadar aktor.

Kepemimpinan yang merakyat juga menuntut keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak populer. Ketika rakyat menderita karena kebijakan, pemimpin harus mampu turun tangan dan memperbaiki. Bukan sekadar meminta maaf di depan media lalu hilang dalam senyap. Merakyat berarti hadir dalam kebijakan, bukan hanya dalam visualisasi.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi politik, pemimpin yang merakyat harus bisa menjadi jembatan harapan. Ia harus berani bersih di tengah sistem yang korup, berani jujur di tengah praktik politik transaksional, dan berani sederhana di tengah gaya hidup mewah para elite. Itu semua bukan hal mustahil, tapi butuh tekad yang tulus dan konsisten.

Akhirnya, pemimpin yang benar-benar berpihak kepada rakyat adalah mereka yang memilih untuk hidup bersama rakyat, menderita bersama rakyat, dan berjuang bersama rakyat, bahkan ketika kamera tidak merekam. Sebab sejatinya, kepemimpinan bukan tentang seberapa banyak pencitraan, tapi tentang seberapa dalam pengabdian.

Oleh : Teuku Saifullah
Warga Pidie Jaya, Aceh