Menangis Dalam Kemerdekaan, Indonesiaku
Foto : Moulidia | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Penulis: Moulidia (Kader HMI Komisariat Adab dan Humaniora)
Dirgahayu, 76 tahun sudah umur Indonesia. 76 tahun sudah terlepas dari belenggu penjajahan, 17 Agustus adalah perayaan ritual tiap tahunnya. Seluruh penjuru masyarakarat Indonesia meneriaki dengan semangat kemerdekaan tiap tahunnya. Merdeka! kata yang mempunyai beribu makna dari setiap jiwa-jiwa yang terlahir di penjuru negeri ini. Negeri ku, negeri dengan beribu pulau tersusun indah, negeri dengan kaya akan isi alam, negeri dengan ratusan anugerah Tuhan, tak mengalahkan keindahannya baik daratan maupun lautan. Dunia mengakuinya walau banyak penduduknya tak sadar akan hadirnya.
Kemerdekaan yang diteriaki dari setiap jiwa manusia di negeri ini memiliki rasa berbeda dari masing-masing yang memaknainya. Merdeka yang bagaimana harus disamakan dalam setiap jiwa tersebut, apakah merdeka seperti isi semua sila pancasila? apakah merdeka untuk perut yang harus selalu terisi setiap harinya? apakah merdeka untuk rasa yang selalu bahagia tanpa tangisan ketakutan tiap malamnya? apakah merdeka bagi diri yang aman tidur tiap malamnya? atau merdeka bagi mereka yang tertawa terbahak-bahak dalam menikmati hasil korupsi? Entahlah, kemerdekaan seperti apa yang harus dirayakan tiap tahunnya.
Segala bejatan merajalela di negeri yang selalu diagungkan dalam bingkai “merdeka” ini. Perbuatan kejahatan seolah hanya hal biasa baik yang selalu dinampakkan atau yang selalu disembunyikan yang akhirnya terkuak juga. Masih banyak tangisan anak-anak Ibu Pertiwi di luar sana meratapi nasib mempertahankan nyawa di tengah negeri yang kaya ini. Aneh bahkan sangat aneh dan membingungkan bagaimana bisa negeri se-kaya ini membuat penduduknya kelaparan tak karuan, menangis dalam negeri sendiri meratapi kebahagiaan kosong yang tak bisa diraih, atau ini hanya untuk segelintir orang yang tak beruntung terlahir di negeri abstrak ini? kaya tapi tak membuat bahagia. Lantas merdeka dalam bentuk apa yang harus dinikmati? apakah merdeka yang menjadi simbol bahwa kita tidak akan dijajah lagi? apakah merdeka itu hanya menjadi tanda bahwa Indonesia sudah menjadi hak milik kita. Lantas tetapkah seluruh isi dalam negeri harus selalu menangis meraung-raung dalam balutan kata “merdeka”? Ah, sepertinya penulis hanya bertanya kepada angin sejuk yang menemani.
Baru-baru ini Tuhan memberikan hadiah indah untuk menyambut hari jadi Indonesia ke-76 tahun dengan sebuah prestasi dari anak negeri, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil meraih medali emas dalam cabang olahraga bulu tangkis kelas ganda putri di ajang Olimpiade Tokyo 2020 (Sumber: KOMPAS.com). Sungguh prestasi yang sangat luar biasa dan menjadi kado terindah dalam perayaan 76 tahun kemerdekaan. Sebuah hadiah yang bisa merendamkan sedikit luka dan air mata atas semua yang menimpa negeri ini. Negeri yang tidak baik-baik saja dengan ratusan tangisan di setiap penjuru yang selalu dianggap biasa. Atas segala drama kejadian yang menghancurkan jiwa, dari peristiwa yang masuk akal sampai peristiwa yang keluar dari akal pikiran bahkan sangat kejam dan mengenaskan. Kejadian virus yang masuk dengan membuat banyak alur cerita dan membuat kacau balau negeri beserta seluruh isinya. Para pemain cerita yang dibuat terkejut setiap karakter dan adegannya. Bagaimana tidak, disaat negeri terhimpit, tersakiti sampai tak sanggup berdiri lagi ada karakter biadab yang dimainkan. Kondisi seperti ini sangat memperihatinkan dalam segala hal terkhusus kesehatan.
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang saat ini dipercayakan masih belum beranjak dari negeri terkaya ini semakin hari semakin membuat terhimpit, semakin membuat alur cerita menjadi-jadi, tak menguntungkan penonton tetapi menguntungkan sebagian pemain penting dalamnya. Yang berperan sebagai perwakilan rakyat semakin besenang ria sedangkan yang memberi amanah sebagai perwakilan semakin terhimpit dan meratap setiap waktu, dibatasi bekerja karena takut semakin menyebar virus yang tak mau beranjak itu tetapi tidak diberikan solusi. Negeri ini takut masyarakatnya terkena virus covid-19 tetapi tidak takut masyarakatnya terkena virus kelaparan.
Alur bejat yang dipertontonkan dalam cerita lain “pejabat negeri korupsi besar-besaran dana hibah Covid-19” bisa-bisanya bersenang disaat terhimpit seperti ini, dipenjuru terpencil menangis kelaparan sedangkan di tengah kota bersenang-senang dalam mempermainkan alur ceritanya. Sungguh negeri malang semoga kejaiban segera datang, karena tak kuasa melihat jiwa yang selalu merintih kesakitan meneriaki kemerdekaan yang sebenarnya. Merdeka seperti inikah yang harus dirayakan? sudahkah sila ke-5 pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” mewakili kemerdekaan Indonesia ke-76 tahun ini, atau harus menunggu kedatangan perayaan-perayaan kemerdekaan selanjutnya?
Tak perlu harus ditanyakan siapa yang salah dan harus bertangggung jawab atas tangisan dalam sela-sela kemerdekaan ini, karena tak akan ada yang mau mengakui dan bertanggung jawab, perbaiki pribadi diri sendiri jadikan kemerdekaan sebagai penurunan ego diri akan kepekaan atas penderitaan negeri ini. Masihkah membuang sampah sembarangan? jika iya berarti masih cupu dalam meneriaki kemerdekaan. Banyak lagi hal-hal yang membuat negeri ini tak seiring dengan kata “merdeka” yang diagungkan. Penulis tak kuasa mencurahkannya karena terlalu sakit membayangkannya. Dirgahayu Indonesiaku, menangis dalam kemerdekaan semoga keindahan setiap lekukan dapat meredam setiap luka yang selalu disuguhkan oleh penduduk mu sendiri.