Mahasiswa Pragmatis Dalam Belenggu Arus Kemajuan Teknologi
Oleh : Rohabdo M Pazlan Hutahuruk -Mahasiswa Jurusan Kesejahteraan Sosial UIN Ar-Raniry Banda Aceh
OPINI - Sangat menarik kiranya tulisan ini penulis mulai dengan mengutip salah satu syair Imam Syafii yang fenomenal. “Barang siapa yang tidak merasakan kelezatan belajar walau sesaat, maka telanlah baginya pahitnya kebodohan sepanjang kehidupan”. Syair imam Syafii tersebut setidaknya memberikan kita dua kemungkinan yang niscaya kita alami tatkala dihadapkan dengan usaha belajar, yakni kehidupan yang sejahtera atau malah sebaliknya, kehidupan yang miris.Tentu kita semua mendambakan kehidupan yang sejahtera. Namun, jika kita coba memahami, ternyata kehidupan yang sejahtera sangat bergantung pada proses serta usaha yang panjang.Dan jika kita coba hubungkan dengan syair di atas, maka salah satu usaha yang niscaya kita geluti untuk mencapai kehidupan yang sejahtera adalah belajar.
Mungkin sudah jamak kita temui tulisan yang konteks pembahasannya fokus terhadap dunia pendidikan dan pembelajaran, namun melalui tulisan ini penulis berkeinginan untuk menuangkan hasil analisis penulis terkait fenomena yang tengah terjadi dalam dunia pendidikan dan pembelajaran saat ini, bil-khusus pada ranah Perguruan Tinggi. Kita semua mengamini bahwa Perguruan Tinggi adalah wadah yang sangat produktif dalam menghasilkan produk-produk keilmuan. Bahkan setiap Perguruan Tinggi sudah memiliki ratusan hingga ribuan jurnal ilmiah pada ragam bidang keilmuan, bahkan tidak sedikit yang tembus situs jurnal internasional. Para dosen hingga mahasiswa pun aktif dalam menulis artikel, opini hingga esai yang dapat kita jumpai pada pelbagai media elektronik hingga media cetak. Dan Perguruan Tinggi juga merupakan instansi yang paling aktif dalam mengadakan aktivitas-aktivitas keilmuan semisal seminar, diskusi, bedah buku hingga lokakarya. Melalui realitas yang ada, penulis kira Perguruan Tinggi amat layak untuk dilabeli sebagai gudang ilmu pengetahuan.
Di balik seluruh kemegahan yang dimiliki oleh Perguruan Tinggi, ternyata harus dihadapkan dengan arus kehidupan yang tidak akan pernah bisa untuk diajak berkompromi. Kemajuan dalam bidang teknologi ternyata mewajibkan Perguruan Tinggi untuk lebih adaptif dan berani mengubah sistem ke arah yang lebih modern, atau ia akan usang dan tidak mampu berkompetisi. Hal tersebut merupakan tantangan yang niscaya ditanggapi dengan serius agar Pergruruan Tinggi tetap produktif melakukan produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Dan hemat penulis, perguruan tinggi telah menyadari dan sudah melakukan transformasi serta menyesuaikan diri dengan intensitas kemajuan teknologi yang sangat cepat.
Selanjutnya fenomena yang ingin penulis singkap ialah kelalaian atau bahkan ketidakmampuan mahasiswa ketika dihadapkan dengan kemajuan teknologi tersebut. Dengan segala kemudahan yang ada, ternyata berdampak kepada sikap mahasiswa yang pragmatis dan cenderung menyukai hal-hal yang instan dalam proses pembelajaran. Kita melihat bahwa tidak sedikit mahasiswa yang lebih memilih melakukan copy paste tatkala ditugaskan sesuatu oleh Dosen dibandingkan membedah ragam literatur dan mencoba mengulasnya dalam bentuk tulisan. Selain itu, mahasiswa juga dengan mudahnya dapat mengakses internet dengan mengetikkan kata kunci tatkala ditanya terkait sesuatu, padahal seharusnya pengetahuan yang didapatkan akan jauh lebih baik ketika mereka memilih untuk membaca dan mentadabbur sebuah jurnal atau buku. Terlebih lagi sewaktu pembelajaran daring, sangat banyak sekali mahasiswa yang lalai terhadap perkuliahan. Banyak yang bermalas-malasan dengan dalih bahwa pembelajaran daring sangat tidak produktif. Sungguh aneh, ketika mereka menyadari segala keterbatasan dalam pembelajaran daring, namun tidak disertai dengan usaha untuk meminimalisir ketidak produktifan tersebut dengan berliterasi, mengulas tulisan-tulisan yang tersedia di banyak laman internet guna mengejar ketertinggalan. Praktis, mahasiswa niscaya menciptakan tool sendiri agar tetap bisa produktif. Namun dibalik beberapa fenomena yang penulis sebut di atas, mahasiswa masih saja berbangga diri dan terjebak dengan label “mahasiswa” yang mereka miliki, dan berilusi bahwa mereka memiliki privilege dan merasa lebih sempurna. Padahal dengan sikap yang demikian, sejatinya mereka telah mengkhianati tanggung jawab sebagai seorang mahasiswa. Bukankah penghianatan adalah suatu hal yang tercela?
Sungguh kondisi mahasiswa hari ini sangat jauh berbeda jika kita bandingkan dengan mahasiswa pada masa silam. Jikalau kehidupan sudah berubah, maka bukankah seharusnya mahasiswa masa kini dapat mengambil pelajaran berharga dari kehidupan mahasiswa masa silam. Bukankah mahasiswa masa silam memiliki effort belajar dan etos kerja yang amat tangguh yang dapat dijadikan sebagai contoh. Bukankah mahasiswa masa silam telah dihadapkan dengan masa-masa sulit namun mereka tetap mampu memaksa diri untuk tetap produktif.. Jauh berbeda dengan mahasiswa hari ini yang dihadapkan dengan segala kemudahan, namun menjadikan mereka terbelenggu oleh ilusi kesempurnaan dan berbangga diri dengan indahnya kata “mahasiswa” yang tersemat di diri mereka. Bagaimana mereka mampu berperan sebagai agen perubahan di tengah-tengah masyarakat, sedangkan untuk diri sendiri pun belum mampu?
Hemat penulis, mahasiswa tengah termabukkan oleh seluruh hal-hal instan yang mereka dapati, sehingga lalai terhadap seluruh tanggung jawab yang tengah mereka pangku. Seluruh kemudahan yang dimiliki sangat potensial menjadikan mereka sebagai mahasiswa yang pragmatis dan tidak berkemauan untuk memiliki effort lebih dalam belajar, tentu ini adalah ancaman bagi peradaban bangsa. Cita-cita kematangan intelektual pun hanya akan menjadi cita-cita yang utopis belaka. Dan kita pun akan terus tertinggal. Kita seharusnya mulai merenungi bahwa tonggak peradaban adalah pendidikan, pendidikan yang mengedepankan ilmu pengetahuan.
Dibalik seluruh fenomena di atas, penulis yakin bahwa mahasiswa dapat berefleksi dan berbenah. Penulis juga yakin bahwa mahasiswa dapat menjawab seluruh problematika yang dihadapi masyarakat dengan ilmu serta keterampilan yang mereka miliki. Pendidikan adalah sesuatu yang mulia, maka jangan sampai kita menghinakan “pendidikan” itu dengan seluruh keegoisan kita dengan bersikap acuh tak acuh, terlebih lagi sampai melegalkan kata “malas” dengan istilah-istilah yang acap kita temui hari ini semisal self-healing, self-love, relaksasi dan lain semisal. Menjadi mahasiswa adalah suatu hal yang istimewa, dan akan menjadi lebih istimewa ketika kita mampu menjadi jawaban dari seluruh permasalahan yang ada, memberikan solusi terbaik untuk setiap problematika.