01 Juli 2025
Opini

Luka, Kehilangan, dan Takdir: Jalan Sunyi Menuju Kedewasaan Jiwa

Oleh: Fakhrurrazi.RA

OPINI - Hidup ini tidak selalu berjalan sesuai dengan kehendak kita. Di jalan sunyi perjalanan batin, kita sering dipaksa memahami sesuatu yang tak ingin kita pahami. Ditinggalkan, dikhianati, disakiti, atau kehilangan sesuatu yang sangat kita cintai. Namun, justru di sanalah Tuhan sedang mengasah jiwa dan menggugurkan ego kita yang kerap pongah.

Jalaluddin Rumi pernah berpesan dalam syair sufistiknya yang tajam dan menggetarkan:
"Jika kau seorang pencinta, janganlah mengeluh sewaktu dia menyayatmu dengan pisaunya. Nikmatilah luka yang kau peroleh dari sang kekasih."
Luka dalam pandangan para pencinta bukanlah kutukan, tapi madrasah batin. Bukan untuk diratapi, melainkan dinikmati sebagai tanda bahwa cinta sejati menuntut pengorbanan. Sebab, cinta bukan hanya tentang bahagia, tapi juga tentang kesiapan merasakan luka tanpa mengutuk sang pemberi rasa.

Imam Syafi’i pun melanjutkan hikmah dari bab kehilangan. Katanya,
"Jangan takut kehilangan apa yang kamu miliki, karena Tuhan tidak akan merampas sesuatu darimu jika itu bukan yang terbaik untukmu."
Terkadang kita menangisi sesuatu yang diambil Tuhan dari genggaman kita, padahal bisa jadi itu adalah bentuk perlindungan-Nya. Sebab Tuhan tak pernah mencabut kecuali untuk menggantikan dengan yang lebih baik atau membebaskan kita dari sesuatu yang kelak menyakitkan.

Dan jika hidup tiba-tiba terasa sepi, orang-orang menjauh ketika kita terpuruk, maka ingat kembali petuah yang sama :
"Jika semua orang menjauh saat kau mendapat kesulitan, maka ketahuilah bahwa Tuhan ingin membuatmu kuat dan Ia akan jadi penolongmu."
Kesendirian di saat sulit bukan selalu tentang ditinggalkan, tapi tentang undangan untuk lebih dekat kepada Tuhan. Ia ingin kita belajar bersandar hanya pada-Nya. Bukan pada pujian manusia, bukan pada pengakuan dunia.

Umar bin Khattab, sang Khalifah yang agung, menutup dengan hikmah luar biasa tentang takdir:
"Jika sesuatu ditakdirkan untuk menjauh darimu, maka ia tak akan pernah mendatangimu. Namun jika ia ditakdirkan bersamamu, maka kau tak akan bisa lari darinya."
Takdir, bagi Umar, bukanlah pasrah buta, melainkan penerimaan aktif. Kita tak bisa memaksa sesuatu yang bukan jatah kita, dan tak akan bisa menghindar dari sesuatu yang sudah digariskan untuk kita.

Maka pada akhirnya, hidup adalah proses ikhlas menerima, sabar dalam kehilangan, dan yakin terhadap ketetapan Ilahi. Luka bukan musibah, tapi madrasah. Kesendirian bukan kutukan, tapi panggilan. Dan takdir bukan untuk dilawan, melainkan direnungi dan dijalani.

Mari introspeksi. Barangkali kita terlalu banyak protes pada Tuhan, padahal Dia hanya ingin kita belajar mencintai-Nya secara utuh dengan luka, kehilangan, dan kerelaan.