21 November 2024
Opini

Korupsi dari Segi Ilmu Filsafat

Oleh: Muhammad Hanip - Mahasiswa Fisip Unsyiah

Ilmu filsafat merupakan ilmu yang sangat penting dalam menjalani kehidupan, Salah satunya dalam menjalani pemerintahan. ilmu yang digunakan guna untuk meningkatkan pelayanan dan juga peningkatan kinerja dalam menjalankan pemerintahan. Karena itu, fenomena korupsi juga bisa disandingkan dari segi ilmu filsafatnya. Makna filosofis dari korupsi adalah memperkaya diri sendiri sehingga hukuman yang menurut kajian ilmu filsafat paling sesuai untuk tindakan korupsi adalah dimiskinkan. Hal ini dirasa akan memberikan efek jera karena perilaku korup menunjukkan sisi kerakusan manusia terhadap harta benda atau kekayaan. Fenomena korupsi yang sudah sistemik di negeri ini menarik untuk dicermati. Kehadiran lembaga pemperantasan korupsi (KPK) tidak membuat para koruptor gentar ketakutan malah sebaliknya korupsi mewabah dalam sistem pemerintahan dan politik negara kita.

Menurut filosof ini korupsi itu sesuatu yang alamiah. Korupsi berkaitan erat dengan karakter hakiki dalam diri manusia itu sendiri. Karakter hakiki manusia itu mempenguruhi perspektifnya terhadap lingkungan atau masyarakatnya. Manusia pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri yaitu memelihara dan melestarikan diri atau kelompoknya sendiri dengan mencari kenikmatan dan mengelakan rasa sakit. Seseorang dikatakan bijaksana manakala orang tersebut mampu memaksimalisasi keinginan-keinginan dari dalam dirinya untuk kelestarian dan kemakmuran serta kenyamanan dirinya sendiri atau dengan kata lain manusia egois adalah manusia yang paling bijaksana.

Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara.

Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya. Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme, maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi.

Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad modern.

Dari kajian ilmu filsafat, terdapat banyak kekurangan yang ditemukan dalam memberikan pengertian tentang korupsi, terutama dari segi rumusan perbuatan pidana korupsi yang tercantum dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Rumusan tersebut ternyata tidak menjangkau seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap “korup” dan apa yang tidak. Sehingga rumusan tersebut potensial tidak menyentuh seluruh aspek perbuatan tercela yang seharusnya dianyatakan sebagai perbuatan “korup”, dan bahkan dapat menjerat seseorang sebagai telah melakukan korupsi, padahal sebenarnya bukanlah perbuatan tercela yang seharusnya tidak dapat dihukum.

Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.