21 November 2024
Opini

Kasus Toni Tamsil & Pencuri Ayam, Hukum yang Terpukul Mundur

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDTerdakwa perintangan penyidikan atau obstruction Toni Tamsil alias Akhi baru saja jadi bukti nyata betapa "murahnya" keadilan di negeri ini. Bayangkan saja, dia terlibat dalam perintangan penyidikan kasus korupsi timah yang nilainya mencapai Rp 300 triliun, tapi cuma divonis 3 tahun penjara dan didenda Rp5.000. Rp5.000 itu bahkan gak cukup buat beli sebungkus rokok! Ironis? Ya, jelas. Bukan cuma soal jumlah uangnya yang absurd, tapi juga bagaimana hukum bisa dipermainkan dengan begitu mudahnya.

Sementara itu, di Bontang, ada maling ayam yang nasibnya jauh lebih sial. Dia dihukum 2 tahun penjara. Apa yang dia curi? Ayam! Bukan emas, bukan berlian, cuma seekor ayam. Tapi hukuman yang dia terima seakan lebih berat dari seorang koruptor yang menghambat penyelidikan kasus ratusan triliun. Di sinilah kita bisa lihat dengan jelas betapa hukum di Indonesia itu ibarat pedang tumpul yang cuma tajam ke bawah. 

Lucu, kita hidup di negara di mana mencuri ayam dianggap lebih jahat daripada menghancurkan ekonomi bangsa dengan korupsi? Kalau kita bicara soal keadilan, apa yang sebenarnya kita bicarakan di sini? Keadilan bagi siapa? Bagi orang kaya yang punya akses ke pengacara top dan hakim yang bisa diajak kompromi? Atau bagi rakyat kecil yang gak punya pilihan selain menyerah pada nasib buruk?

Jujur saja, melihat kasus Toni Tamsil ini bikin kita merasa muak dengan sistem hukum yang ada. Di satu sisi, hukum seolah jadi tameng untuk melindungi kepentingan elit, sementara di sisi lain, hukum adalah cambuk yang siap menghajar rakyat kecil kapan saja. Kalau sudah begini, apa gunanya punya undang-undang kalau yang menegakkannya cuma peduli sama dompet dan relasi?

Mungkin inilah alasan kenapa banyak orang di negeri ini merasa bahwa keadilan itu semu, ilusi yang dijual murah untuk rakyat kecil. Hukum jadi alat permainan, dan keadilan jadi barang dagangan. Kalau bisa negosiasi dan punya cukup pengaruh, hukuman bisa dikompromikan. Tapi kalau tidak? Ya siap-siap saja dihajar habis-habisan.

Ini semua harusnya jadi tamparan keras buat kita semua. Jangan diam saja dan biarkan hukum dipermainkan seperti ini. Kalau kita terus membiarkan, jangan heran kalau akhirnya kita hanya tinggal nama, sementara para koruptor terus tertawa di atas penderitaan rakyat. Sudah waktunya kita menuntut perubahan. Sudah waktunya hukum kembali ke jalurnya, untuk keadilan, bukan untuk main-main. (TS)