24 Juni 2025
Opini

Jika Ada yang Lapar di Sekitarmu, Mungkin Rezekimu Belum Kau Bersihkan

Foto : Dok. Google Image/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS

Oleh: Bang Ajie - Warga Pidie Jaya, Aceh

OPINI - POJOK INSTROSPEKSI — "Jika engkau melihat ada orang fakir di negeri Islam, maka ketahuilah bahwa ada orang kaya yang telah mencuri hartanya.” Kutipan ini, yang berasal dari ulama besar Syaikh Mutawalli As-Sya'rawi, terasa seperti tamparan bagi umat Islam hari ini. Ia tidak hanya menyentil nurani individu, tetapi juga menggugat struktur sosial dan ekonomi yang membiarkan ketimpangan menjadi hal biasa.

Di tengah suara azan yang lima kali sehari menggema di negeri ini, di mana Islam menjadi mayoritas dan ibadah ritual ditegakkan, masih banyak perut yang kosong dan tangis anak-anak karena lapar yang tidak terdengar. Ini bukan hanya soal kemiskinan, tetapi tentang hilangnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial.

Islam bukan sekadar agama yang mengatur shalat, puasa, dan ibadah ritual lainnya. Ia adalah sistem hidup yang lengkap, menekankan pentingnya keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan tanggung jawab moral terhadap sesama. Maka, ketika masih ada tetangga yang kelaparan, anak yatim yang menangis karena lapar, atau janda tua yang hidup dalam kesendirian dan kekurangan, itu pertanda bahwa ada kewajiban sosial yang telah diabaikan.

Syaikh As-Sya’rawi tidak sedang menuduh individu kaya secara langsung, tetapi ia sedang menggambarkan sebuah sistem yang pincang di mana kekayaan terkonsentrasi di segelintir elit, sementara sebagian besar masyarakat berjuang sekadar untuk hidup layak. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang lebih menyakitkan dari sekadar pencurian kekayaan umat yang seharusnya menjadi zakat, infak, dan sedekah, malah dibekukan demi gaya hidup mewah dan citra sosial.

Berapa banyak harta yang seharusnya sudah membersihkan rezeki kita, namun malah menjadi sebab kemurkaan Tuhan karena ditahan? Berapa banyak proyek sosial, rumah dhuafa, beasiswa, klinik gratis, dan dapur umum yang bisa kita bangun jika kita mau menyisihkan sebagian harta untuk ummat, bukan hanya untuk memenuhi syahwat duniawi?

Allah SWT telah mengingatkan kita dalam Surah At-Taubah ayat 34 tentang ancaman bagi mereka yang menimbun emas dan perak, tanpa menyalurkannya di jalan Allah. Artinya, tidak menunaikan kewajiban sosial bukan hanya bentuk kelalaian, melainkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai agama.

Maka, mari kita bertanya pada diri sendiri sudahkah rezeki kita bersih? Sudahkah kita menjadi jalan bagi orang lain untuk keluar dari kesulitan? Atau justru kita menjadi bagian dari sistem yang menutup mata, membiarkan ketimpangan, dan menormalisasi kemiskinan?

Opini ini bukan ajakan untuk membenci kekayaan atau menyalahkan keberhasilan. Menjadi kaya bukanlah kesalahan. Yang salah adalah ketika kekayaan membuat kita lupa bahwa ada hak orang lain di dalam harta kita. Yang keliru adalah saat kita merasa aman di balik pagar rumah megah, sementara di luar sana, seseorang mengemis untuk sesuap nasi.

Jika masih ada yang lapar di sekitarmu, mungkin itu adalah peringatan bahwa rezekimu belum sepenuhnya bersih. Bahwa kamu belum sepenuhnya menjadi hamba yang menunaikan amanah sosial. Dan bahwa dalam kekayaanmu, ada hak yang belum kamu tunaikan yang akan terus menjadi beban, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Islam tidak meminta kita menjadi miskin. Tapi Islam memerintahkan kita agar kekayaan tidak menjadi alat penindasan, melainkan menjadi jembatan kebaikan. Karena pada akhirnya, rezeki yang bersih bukan hanya yang halal, tapi juga yang telah disalurkan pada yang berhak.