16 Oktober 2024
Opini

Ratusan Program Pengentasan, Kemiskinan di Pidie Jaya Tak Teratasi, Siapa yang Diuntungkan?

Foto : Miswar, Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Pidie Jaya masih berkutat di posisi keempat sebagai daerah termiskin di Aceh, sebuah kenyataan pahit yang disampaikan langsung oleh Pj. Bupati Pidie Jaya, Ir. Jailani Beuramat, dalam rapat penanggulangan kemiskinan di Aula Pemkab setempat pada Kamis (26/9). 

Keadaan ini membuat rakyat di pelosok desa merasakan dampak langsung dari kemiskinan yang membelit mereka. Layanan publik yang minim, infrastruktur yang rusak, serta harga kebutuhan pokok yang terus melambung semakin mempersulit kehidupan sehari-hari.

Keluhan masyarakat terdengar di mana-mana, tetapi ironisnya, para pemimpin di daerah ini tampak lebih sibuk dengan agenda seremonial yang seolah hanya bertujuan untuk meningkatkan citra pribadi. Alih-alih berupaya memperbaiki kesejahteraan rakyat, mereka malah berlomba-lomba memoles tampilan publik. Kebutuhan dasar masyarakat, yang seharusnya menjadi prioritas, justru terabaikan, dan kesenjangan semakin menganga.

Di setiap sudut desa, kesabaran rakyat mulai menipis. Mereka merasa diabaikan  pemimpin yang lebih mementingkan acara-acara formal, sementara masyarakat harus bergelut dengan kemiskinan yang semakin menggerogoti. Bantuan dan kebijakan yang dijanjikan untuk memperbaiki nasib mereka terasa hanya angin lalu. Rakyat telah terlalu sering mendengar janji-janji manis, namun kenyataannya, kesejahteraan tak kunjung hadir.

Dalam situasi ini, ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah semakin menguat. Rakyat Pidie Jaya merasa ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan dalam memperjuangkan nasib mereka. Pj. Bupati dan pejabat lainnya tampak lebih memilih bersandar pada fasilitas mewah dan seremonial semata daripada menyingsingkan lengan baju untuk memperbaiki keadaan.

Para pejabat di Pidie Jaya seharusnya menyadari bahwa kemiskinan yang dialami warganya bukan sekadar angka statistik. Itu adalah penderitaan nyata yang memerlukan tindakan konkret, bukan hanya rapat koordinasi yang berujung pada kebijakan tanpa aksi nyata. Jika pemerintah daerah tidak segera mengubah arah, kekecewaan rakyat akan semakin mendalam dan rasa tidak percaya itu akan mengakar semakin kuat.

Masyarakat berharap agar para pemimpin di daerah ini segera bangkit dari tidur panjang mereka dan mengambil langkah konkret yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Tanpa tindakan nyata, Pidie Jaya mungkin akan terus terjebak dalam belenggu kemiskinan yang semakin parah, sementara para pemimpinnya sibuk dengan seremonial yang hanya menghabiskan anggaran.

Program pengentasan kemiskinan di Pidie Jaya tampak berjalan di tempat, karena banyak program yang diselewengkan dan disalahgunakan oleh pejabat itu sendiri. Misalnya, dana aspirasi yang menguap dan program pemberdayaan ekonomi yang digelontorkan ternyata tidak memberikan dampak signifikan. Mengapa? Sebab, program-program tersebut sering kali tidak tepat sasaran. Banyak bantuan yang seharusnya mengalir ke tangan rakyat justru diserap oleh para pemilik aspirasi itu sendiri. Bantuan modal usaha untuk petani tambak, nelayan, perkebunan, dan pertanian sering kali hanya menjadi nama tanpa makna, di mana hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang.

Dalam hal ini, seorang teman penulis pernah berkata, "Kalau kamu nongkrong di warung kopi di Pijay, jangan sampai kakinya digantung ke bawah, takutnya dicocot bibit ikan." Pernyataan ini mencerminkan situasi absurd terkait pengadaan bibit ikan dan udang yang sudah melebihi kapasitas tambak yang ada di Pidie Jaya. Semua program pemberdayaan dimasukkan ke dalam kolam dan tambak, dengan alasan yang sangat sederhana, jika nanti datang pemeriksaan, tinggal dikatakan bahwa bibit ikan itu mati atau gagal panen. Praktik semacam ini hanya memperparah keadaan, di mana bantuan yang seharusnya memperbaiki perekonomian rakyat justru berakhir menjadi ajang permainan anggaran.

Brgitu juga dengan program pembangunan jalan pertanian dengan program swakelola juga menunjukkan betapa tidak efektifnya pengelolaan dana tersebut. Seharusnya, proyek ini dikelola langsung oleh kelompok tani untuk meningkatkan perekonomian mereka. Namun, kenyataannya di lapangan, kelompok tani hanya menjadi nama tanpa kekuatan. Meskipun dana masuk ke kelompok tani, pelaksanaannya justru mirip dengan sistem kontraktor, di mana dana tersebut kembali ditarik oleh pihak tertentu untuk pengadaan material. Akibatnya, ketua kelompok hanya mendapatkan upah yang minim, layaknya seorang tukang biasa.

Hal serupa terjadi dengan bantuan alat mesin pertanian yang diserahkan kepada masyarakat atas nama kelompok tani. Pada kenyataannya, hanya satu atau dua orang yang menikmati keuntungan dari alat tersebut, sementara anggota kelompok lainnya hanya mendapatkan sedikit uang sebagai imbalan atas kehadiran mereka saat serah terima barang. Keadaan ini jelas menggambarkan bahwa program-program yang ada sering kali tidak menyentuh akar permasalahan dan malah memperburuk keadaan.

Rakyat semakin merasa terpinggirkan, sementara mereka yang seharusnya berjuang untuk kesejahteraan masyarakat justru mengambil keuntungan pribadi. Ketidakpuasan ini memicu pertanyaan besar, kemana sebenarnya aliran dana aspirasi dan mengapa program-program pemberdayaan ekonomi tidak berhasil dijalankan di Pidie Jaya? Tanpa adanya perubahan dalam cara pengelolaan dan implementasi program, kemiskinan di Pidie Jaya akan terus berlanjut, dan rakyat tetap berada di posisi sebagai penonton di daerah mereka sendiri.

Oleh : Miswar (Anggota Aliansi Jurnalis Independen) 

-->