28 Desember 2025
Kisah
BANJIR PIDIE JAYA

Hutan Dirusak, Rakyat Ditinggalkan, Luka Panjang Banjir Pidie Jaya

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Nestapa itu kini mengeras bersama lumpur yang membungkus Meureudu dan Meurah Dua, dua kecamatan di Kabupaten Pidie Jaya yang paling parah dilumat banjir bandang. Bukan sekadar air yang datang dan pergi, tetapi endapan tanah setinggi dua hingga tiga meter yang seolah sengaja ditinggalkan sebagai monumen penderitaan. Lumpur itu bukan hanya menutup lantai rumah, melainkan menenggelamkan harapan warga yang sudah lama hidup dalam keterbatasan.

Rumah-rumah warga berubah menjadi tumpukan tanah lumpur. Fasilitas umum kehilangan fungsi, lorong-lorong sempit berubah menjadi jalur buntu. Tak ada lagi batas jelas antara halaman dan ruang tamu, semuanya menyatu dalam lumpur pekat yang mengering perlahan. Bagi warga, ini bukan sekadar bencana, tetapi kehancuran hidup yang terjadi di depan mata.

Di hadapan kondisi itu, warga hanya bisa pasrah. Bukan karena mereka lemah, tetapi karena tenaga manusia tak sebanding dengan gunungan lumpur. Sekrop dan cangkul menjadi simbol perlawanan yang rapuh. Banyak yang akhirnya menyerah, duduk termenung di depan rumah yang tak lagi bisa dihuni, menatap pilu sisa-sisa kehidupan yang runtuh.

Banjir bandang ini bukan tak bertuan. Di balik derasnya arus, ada tangan-tangan jahil yang merambah hutan, menebang tanpa kendali, merusak tanpa rasa bersalah. Alam yang dipaksa diam akhirnya melawan, dan seperti biasa, rakyat kecil menjadi korban pertama dan paling lama merasakan akibatnya.

Hari-hari pasca banjir berlalu dengan ironi yang menyakitkan. Warga berserah diri kepada Yang Maha Kuasa, sementara kehadiran negara terasa setengah hati. Ada, tetapi seperti tiada. Bantuan datang seadanya, namun yang paling dibutuhkan alat berat, justru hanya beberapa unit, tak sebanding dengan kebutuhan dilapangan. Padahal tanpa bantuan alat berat, lumpur itu tak akan mampu dibersihkan oleh tangan manusia.

Alat berat yang tersedia jauh dari cukup. Jalan utama memang sudah  dibersihkan, memberi kesan seolah keadaan mulai pulih. Namun itu hanya wajah luar. Di baliknya, lorong-lorong permukiman warga masih tersumbat, halaman rumah terkubur lumpur yang mengeras dan menggunung. Rumah-rumah itu tetap tak bisa dibersihkan karena lumpur tak punya tempat untuk dipindahkan.

Warga miskin menjadi pihak yang paling terhimpit. Mereka tak punya uang untuk membayar tenaga pembersih, tak punya uang untuk menyewa alat, bahkan tak punya tempat untuk membuang lumpur. Sementara segelintir warga yang  mampu pun menghadapi masalah serupa, membersihkan iya, tapi membuang ke mana? Negara seolah berhenti sampai di pinggir jalan raya.

Para pekerja pembersihan saja  mengaku kewalahan. Lumpur setinggi dua meter bukan pekerjaan sehari dua hari. Tenaga terkuras, waktu habis, hasilnya sering kali tak sebanding. “Satu kamar saja butuh dua hari kerja,” ujar salah seorang warga yang kini bertahan hidup dengan menjadi buruh pembersih rumah tetangganya yang senasib.

Ironi semakin tajam ketika ongkos pembersihan mencapai lima hingga sepuluh juta rupiah per rumah. Angka itu mungkin kecil bagi sebagian orang, tetapi bagi korban banjir Pidie Jaya, itu setara mimpi yang mustahil diraih. Pertanyaannya sederhana, kapan rumah-rumah orang miskin akan bersih, jika sekadar membersihkan lumpur saja sudah di luar kemampuan mereka?

Kondisi ini menelanjangi satu fakta pahit, korban banjir Pidie Jaya tidak butuh belas kasihan, mereka butuh negara yang hadir sepenuhnya. Bukan sekadar pendataan, bukan sekadar pernyataan, tetapi tindakan nyata di lapangan. Jika lumpur ini dibiarkan mengeras, maka yang sesungguhnya membatu bukan hanya tanah, melainkan nurani dan tanggung jawab kekuasaan. (**)