10 Mei 2025
Daerah

Ekonomi Pidie Jaya Terpuruk: Daya Beli Melemah, Uang Mengalir Keluar Daerah

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDEkonomi Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, sedang menunjukkan gejala perlambatan yang serius. Indikator utama terlihat dari penurunan aktivitas konsumsi masyarakat di pusat perdagangan Meureudu, yang selama ini menjadi sentra distribusi barang kebutuhan pokok. Pelemahan ini mengindikasikan menurunnya permintaan agregat, yang secara teoritis berimplikasi langsung pada penurunan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor perdagangan dan jasa.

Fauzi M. Daud, pemilik toko sembako INAYA di Meureudu, mengaku bahwa omzet hariannya anjlok drastis sejak awal tahun. “Dulu sembako laris manis setiap hari, kini warga lebih memilih menunda belanja,” ujarnya. Fenomena ini memperkuat sinyal bahwa fungsi konsumsi rumah tangga komponen utama dalam penghitungan PDRB berdasarkan pengeluaran mengalami kontraksi akibat menurunnya daya beli masyarakat. Dalam konteks ekonomi makro, hal ini merupakan refleksi dari ekspektasi negatif konsumen dan ketidakpastian terhadap pendapatan masa depan.

Struktur ekonomi Pidie Jaya yang masih bergantung pada sektor primer seperti pertanian, perikanan, serta peran belanja pegawai negeri sipil (PNS), menciptakan kerentanan terhadap fluktuasi eksternal. Ketidakhadiran sektor industri manufaktur dan jasa modern menyebabkan tidak adanya buffer sector yang dapat menyerap guncangan eksternal maupun memperkuat stabilitas permintaan domestik. Akibatnya, terjadi leakage dalam sirkulasi ekonomi lokal, di mana uang yang masuk tidak berputar optimal dalam wilayah itu sendiri.

Salah satu faktor yang turut memperparah lesunya ekonomi lokal adalah pola belanja aparatur sipil negara (ASN) yang justru mendorong perputaran uang ke luar daerah. Sebagian besar ASN di Pidie Jaya diketahui lebih banyak melakukan transaksi konsumtif di luar kabupaten, terutama pada akhir pekan di Banda Aceh atau daerah sekitarnya. 

"Malam Senin ke Pidie Jaya, Jumat buang Pampers dan kotak susu di sini," keluh salah satu pedagang di Meureudu. 

Pola ini menciptakan kebocoran ekonomi, di mana uang yang masuk tidak sempat berputar secara produktif dalam wilayah sendiri, sehingga memperlemah efek pengganda belanja pemerintah dan gaji ASN terhadap perekonomian lokal. Dalam teori ekonomi regional, perilaku seperti ini menghambat terciptanya local economic circulation, yang seharusnya menjadi tulang punggung pertumbuhan kawasan.

Menurut pengamat ekonomi lokal, stagnasi yang terjadi bersifat struktural. “Tingginya ketergantungan pada sektor primer dan rendahnya nilai tambah lokal menyebabkan efek pengganda ekonomi menjadi sangat kecil. Investasi swasta pun rendah karena infrastruktur dasar belum memadai dan ketidakpastian regulasi masih tinggi,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa kondisi ini membentuk low-level equilibrium trap, yakni kondisi stagnasi ekonomi yang sulit didobrak tanpa intervensi kebijakan yang progresif.

Sebagai langkah jangka menengah, dia merekomendasikan diversifikasi ekonomi melalui penguatan sektor UMKM yang berbasis potensi lokal, seperti pengolahan hasil laut dan pertanian organik. Pemerintah daerah juga perlu menerapkan kebijakan fiskal ekspansif yang berpihak pada sektor produktif, seperti subsidi alat produksi, insentif investasi mikro, dan fasilitasi akses pasar.

Lebih jauh, sektor pariwisata juga perlu dilirik sebagai engine of growth baru. Potensi wisata bahari di pesisir Jangkabuya dan Trienggadeng, serta situs sejarah dan religi lokal, bila dikembangkan dengan pendekatan ekonomi kreatif dan infrastruktur yang memadai, berpotensi meningkatkan local revenue, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat basis ekonomi domestik secara berkelanjutan.

Di tengah kondisi ini, pelaku usaha berharap adanya respons kebijakan yang nyata, bukan sekadar program simbolik. Jika tekanan konsumsi terus berlanjut tanpa stimulus yang memadai, maka risiko domino effect seperti peningkatan pengangguran, naiknya angka kemiskinan, dan melemahnya ketahanan fiskal daerah sangat mungkin terjadi. (**)