01 Agustus 2025
Kisah

dr. Azizy Gladylola Mastura, Jejak Pengabdian Putri Sang Jendral

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDDi bawah senja yang hangat di langit Yogyakarta, sebuah kisah haru dan penuh makna lahir di Graha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada. Rabu, 30 Juli 2025 menjadi momen tak terlupakan bagi seorang dara yang kini resmi menyandang gelar dr. Azizy Gladylola Mastura.

Dengan langkah penuh keyakinan, Azizy mengikuti prosesi Sumpah Dokter Periode IV Tahun Akademik 2024/2025. Hari itu bukan hanya penanda keberhasilan akademik, tapi awal dari panggilan jiwa—tugas mulia mengabdi kepada sesama.

Putri kedua dari Mayjen TNI (Purn) Achmad Daniel Chardin, mantan Pangdam I/Bukit Barisan dan eks Kasdam Iskandar Muda ini, memilih jalur pengabdian yang berbeda dari ayahnya. Jika sang ayah berjuang membela bangsa lewat militer, Azizy memilih berjuang dengan ilmu, kasih, dan stetoskop.

Dalam sebuah pesan sederhana namun menyentuh, sang ayah menuliskan:

“Lusa sumpah dokter puteri saya ke-2, Azizy... Alhamdulillah... Siap untuk memulai pengabdiannya untuk masyarakat yang butuh kemampuan dokter. Semoga berkah... Aamiin YRA..."

Kalimat singkat itu seolah menjadi restu atas awal pengabdian panjang. Sebuah perang sunyi kini menanti Azizy: bukan di medan tempur, melainkan di ruang praktik, di tengah nyeri dan harapan yang menggantung.

Dari Ketekunan, Tumbuh Kesungguhan

Di balik nama dan gelar itu, tersimpan perjalanan panjang yang tidak mudah. Malam-malam panjang, ruang kuliah yang tak pernah sepi, hingga laboratorium yang jadi saksi bisu ketekunannya. Sosok Azizy dikenal bukan hanya karena kecerdasannya, tapi karena kelembutan dan empati yang menyertainya.

"Dengan penuh rasa syukur, kami persembahkan: dr. Azizy Gladylola Mastura. Di awal langkahnya menggapai asa, wujudkan bakti pada sesama," ucap salah satu anggota keluarga dengan penuh haru.

Sumpah yang Tak Sekadar Formalitas

Sumpah dokter bukan sekadar upacara. Ia adalah ikrar yang mengikat batin dan jiwa seorang tabib. Saat namanya disebut, Azizy tak hanya diwisuda, tetapi dimeteraikan untuk hadir dalam kehidupan orang lain—dengan ilmu dan nurani.

Di hadapan para dosen, keluarga, dan sejawat, ia bersumpah untuk menjadi lentera bagi yang sakit, untuk merawat bukan hanya tubuh, tapi juga luka yang tak kasat mata.

Warisan Jiwa Pengabdian

Pengabdian tidak selalu ditandai dengan gemuruh senjata. Kadang, ia hadir dalam keheningan: di ruang perawatan, dalam diamnya doa seorang pasien, dalam pelukan diam seorang anak pada ibunya yang kembali sembuh.

Azizy mewarisi semangat itu dari ayahnya, namun menempuhnya lewat jalan berbeda. Kini, di pundaknya terletak harapan banyak jiwa—bahwa masih ada dokter muda yang memilih jalan empati, bukan sekadar karier.

Semoga Cahaya Itu Tak Pernah Padam

Semoga langkah dr. Azizy Gladylola Mastura senantiasa diberkahi. Dalam setiap diagnosis yang ia buat, dalam setiap tangan yang ia pegang, semoga selalu ada cinta, ilmu, dan doa yang mengalir. Karena di jalan kemanusiaan, kesunyian adalah kekuatan, dan kasih adalah senjata paling ampuh.

Aamiin ya Rabbal 'Alamiin.