19 Desember 2025
Kisah
BANJIR PIDIE JAYA

Tidur di Emperan Swalayan Tanpa Tenda, Tangis Pengungsi Pante Beureune di Tengah Bencana

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Malam merambat dingin di Jalan Rel Kereta Api Simpang Pante Beureune, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Di bawah cahaya lampu swalayan yang redup, ratusan pengungsi dari Gampong Pante Beureune terpaksa membentangkan kardus dan kain seadanya di emperan Swalayan Makmur. Sejak banjir besar melanda enam hari silam, tempat itu menjadi “rumah” sementara bagi mereka yang kehilangan atap dan rasa aman.

Di antara helaan napas letih para pengungsi, terdengar tangis anak-anak yang menggigil menahan dingin malam. Ibu-ibu muda mendekap bayi tanpa selimut, sementara para lansia berbaring lemah di lantai keras, beralaskan tipis terpal lusuh. Nyamuk berkerumun di sela-sela tubuh yang kelelahan, memperparah malam yang terasa panjang dan penuh ketidakpastian.

Afdal (37), salah seorang Kepala Dusun,  Gampong Pante Beureune, tak mampu menyembunyikan kegundahannya. Dengan suara lirih, ia mengatakan sedikitnya 115 kepala keluarga kini bertahan tanpa tenda dan perlindungan layak. “Kami sangat berharap segera ada bantuan tenda. Anak-anak, ibu hamil, dan orang tua tidak mungkin terus tidur di luar,” ujarnya, sembari menatap deretan pengungsi yang berusaha terlelap dalam keterbatasan.

Yang lebih memilukan, kampung halaman mereka kini hanya menyisakan lumpur dan puing. Rumah warga porak-poranda, lantai terendam lumpur tebal, dan aroma tak sedap masih menyengat di udara. Tak satu pun berani kembali menetap, selain untuk sekadar mengais barang yang masih bisa diselamatkan. Pulang, bagi mereka, belum menjadi pilihan, kampung itu belum layak dihuni.

Kekhawatiran akan penyakit mulai menghantui para pengungsi. Demam, batuk, dan keluhan kulit menyeruak seiring dinginnya malam dan buruknya sanitasi. “Kami butuh petugas medis untuk cek kesehatan. Banyak warga mulai sakit,” kata Afdal. Kebutuhan obat-obatan, susu bayi, popok, hingga perlengkapan lansia menjadi daftar panjang yang mendesak untuk segera dipenuhi.

Di emperan swalayan itu, harapan menggantung setipis alas tidur mereka. Namun di balik mata letih dan wajah cemas, ada doa yang terus dipanjatkan agar pertolongan segera datang. Para pengungsi Pante Beureune hanya ingin satu hal yang sederhana: tidur dengan hangat, hidup dengan layak, dan kembali ke kampung yang aman. Hingga saat itu tiba, emperan swalayan ini menjadi saksi bisu perjuangan mereka melawan dingin dan rasa takut. (**)