OPINI - Pagi di Pidie Jaya pascabanjir selalu dimulai dengan bau lumpur yang menyengat. Air telah surut, tetapi jejaknya tertinggal di dinding rumah, di perabot yang rusak, dan di wajah-wajah warga yang kelelahan. Di balik kesibukan membersihkan sisa banjir, ada pertanyaan yang terus bergaung, mengapa bencana ini seolah berulang tanpa pernah benar-benar dicegah?
Banjir kali ini bukan sekadar akibat hujan deras. Warga menunjuk sungai yang dangkal, drainase yang tersumbat, dan alih fungsi lahan yang tak terkendali. Beberapa titik yang dulunya sawah resapan kini berubah menjadi bangunan permanen. Air yang dulu menyebar kini terperangkap, lalu meluap ke permukiman padat.
Di Gampong-gampong terdampak, cerita yang muncul hampir seragam. Air datang cepat, sebagian besar warga tak sempat menyelamatkan barang berharga. Lansia dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Dalam hitungan jam, rumah berubah menjadi kolam, dan kehidupan normal seketika terhenti.
Ironisnya, sebagian warga mengaku telah lama menyampaikan keluhan. Parit yang dangkal, sungai yang tak dikeruk, dan tanggul yang rapuh sudah berulang kali dilaporkan. Namun respons yang datang sering kali bersifat sementara, pembersihan sesaat, janji evaluasi, lalu senyap hingga banjir berikutnya datang.
Bantuan kemanusiaan memang mengalir setelah bencana. Logistik, uang tunai, dan relawan berdatangan. Bantuan ini sangat berarti bagi korban, tetapi juga membuka fakta lain: penanganan masih berfokus pada tahap darurat, bukan pencegahan. Setelah kamera pergi dan perhatian mereda, warga kembali bertanya-tanya tentang langkah jangka panjang.
Di balik itu, ada ketangguhan yang jarang disorot. Warga bergotong royong membersihkan rumah, membangun dapur darurat, dan saling berbagi makanan. Anak-anak bermain di sela-sela lumpur, seolah mengajarkan orang dewasa bahwa hidup harus terus berjalan, seberat apa pun keadaannya.
Namun ketangguhan rakyat tidak boleh dijadikan alasan untuk abainya sistem. Investigasi sederhana di lapangan menunjukkan bahwa persoalan banjir Pidie Jaya adalah akumulasi kebijakan setengah hati, pengawasan lemah, dan perencanaan tata ruang yang tidak berpihak pada lingkungan. Alam seolah hanya menjadi korban terakhir dari kelalaian manusia.
Para petani menanggung kerugian berlipat. Sawah yang terendam lumpur dan gagal panen. Bagi mereka, banjir bukan hanya bencana musiman, tetapi ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup keluarga.
Bangkit dari banjir berarti lebih dari sekadar membersihkan lumpur. Ia menuntut keberanian untuk membuka masalah yang selama ini ditutup rapi. Evaluasi menyeluruh, transparansi anggaran, dan keberpihakan pada mitigasi bencana adalah keharusan, bukan pilihan.
Pidie Jaya berhak atas masa depan yang lebih aman. Selama penyebab banjir tidak diurai hingga ke akarnya, lumpur akan terus datang sebagai pengingat. Bangkitlah, bukan hanya dengan ketabahan, tetapi juga dengan keberanian menuntut perubahan agar bencana ini tidak terus berulang dari tahun ke tahun. (TS)






