18 Oktober 2025
Daerah

APBA 2025 Tersendat, Pemerintah Aceh dan Sekda Dinilai Gagal Jalankan Disiplin Anggaran

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDKetua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Aliansi Lembaga Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Aceh, Mahmud Padang, menilai keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2025 sebagai potret nyata lemahnya disiplin birokrasi dan kegagalan manajerial Pemerintah Aceh dalam memastikan tata kelola keuangan publik berjalan efektif dan terukur.

Berdasarkan data resmi Badan Pengelola Keuangan Aceh, hingga 15 Oktober 2025 serapan keuangan baru mencapai 60,7 persen dan serapan fisik 65 persen, jauh di bawah target Oktober masing-masing sebesar 69,4 persen dan 75 persen. Deviasi negatif sebesar minus 8,7 persen untuk keuangan dan minus 10 persen untuk fisik memperlihatkan bahwa hampir seluruh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) bergerak di bawah target normal dan berpotensi gagal mencapai target penyerapan pada triwulan keempat tahun anggaran.

Mahmud Padang menegaskan, lambannya serapan APBA tidak lagi bisa dianggap sebagai persoalan teknis atau administratif semata. Ia menyebut kondisi ini sebagai akibat langsung dari lemahnya fungsi pengendalian dan koordinasi yang seharusnya dijalankan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).

Menurutnya, Sekda gagal memerankan fungsi strategis dalam mengawal sinkronisasi antara perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan kegiatan di masing-masing SKPA. “Sekda adalah motor utama TAPA yang mestinya menjaga ritme realisasi anggaran tetap stabil. Tapi faktanya, grafik menunjukkan pelambatan signifikan sepanjang tahun. Ini membuktikan lemahnya pengawasan internal dan tidak adanya sense of urgency dalam mengelola uang rakyat,” ujar Mahmud, Jumat 17 Oktober 2025.

Ia menilai, Sekda Aceh seharusnya menjadi figur penggerak yang memastikan seluruh kepala SKPA disiplin terhadap target realisasi, bukan sekadar penandatangan dokumen anggaran. Ketiadaan langkah konkret dari TAPA dalam melakukan evaluasi bulanan memperlihatkan bahwa fungsi pengendalian anggaran nyaris tidak berjalan. “Sekda jangan hanya berperan sebagai administrator, tapi harus jadi komandan lapangan dalam pelaksanaan APBA. Keterlambatan serapan ini adalah cermin gagalnya kepemimpinan fiskal di level tertinggi birokrasi Aceh,” tegasnya.

Dari total pagu APBA 2025 sebesar Rp 11,006 triliun, hingga pertengahan Oktober realisasi belanja modal baru menyentuh 38,12 persen. Sementara belanja operasional sudah mencapai 60,94 persen. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh masih lebih sibuk membiayai rutinitas birokrasi ketimbang mendorong pembangunan riil yang berdampak langsung bagi rakyat.

Mahmud menyebut pola seperti ini berpotensi melahirkan kembali siklus klasik menjelang akhir tahun, di mana proyek dikebut hanya untuk memenuhi angka serapan tanpa memperhatikan kualitas pekerjaan. “Ini bukan efisiensi, ini panic spending. Anggaran dikejar demi laporan, bukan demi hasil. Rakyat tidak butuh angka, rakyat butuh bukti nyata, jika Mualem tidak tegas maka citra dan marwahnya sebagai panglima rakyat Aceh akan ikut tercoreng nantinya,” katanya.

Mahmud juga menyoroti pola berulang dalam tata kelola anggaran yang sama lemahnya dari tahun ke tahun. Grafik perbandingan APBA 2024 dan 2025 menunjukkan tren identik, di mana realisasi keuangan dan fisik selalu tertinggal dari target. Hal ini menurutnya bukan lagi kesalahan teknis, melainkan bukti bahwa Pemerintah Aceh gagal memperbaiki sistem manajemen keuangan daerah secara struktural. “Dari 2024 ke 2025 tak ada perbaikan signifikan. Artinya, ada budaya kerja yang tidak berubah. Evaluasi yang dijanjikan tiap tahun hanya formalitas tanpa pembenahan nyata,” kata Mahmud Padang.

Ia mendesak Pj. Gubernur Aceh untuk segera melakukan evaluasi total terhadap kinerja Sekda Aceh dan seluruh jajaran TAPA. Evaluasi tersebut penting agar fungsi perencanaan dan realisasi kembali berjalan dalam koridor akuntabilitas publik. Mahmud juga meminta agar data serapan APBA per SKPA dibuka secara transparan dan dapat diakses masyarakat. “Sudah waktunya rakyat tahu siapa yang bekerja dan siapa yang tidak. Jika Sekda Aceh tak mampu, maka Gubernur silahkan copot saja. Jangan biarkan uang rakyat dikelola secara tertutup di balik meja rapat birokrasi,” tegasnya.

Mahmud menambahkan, Inspektorat Aceh dan Badan Pengelola Keuangan Aceh harus berani membuka hasil audit internal triwulan ketiga untuk memastikan tidak ada permainan dan pembiaran dalam pengelolaan anggaran. Tanpa langkah terbuka dan tegas, kata dia, APBA hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa hasil nyata. “Setiap tahun kita disuguhi angka triliunan tapi manfaatnya nyaris tak terasa. Kalau Pemerintah Aceh tidak bisa memperbaiki disiplin anggaran, maka yang rusak bukan hanya laporan keuangan, tapi kepercayaan publik terhadap seluruh sistem pemerintahan. Untuk apa minta banyak-banyak ke Pemerintah Pusat jika ketua TAPA saja tak mampu mengefektifkan dan memaksimalkan penggunaan anggaran yang sudah ada," pungkasnya. (**)