22 November 2024
Kisah

Suatu Siang di Pulot Ijo Cot Geuleungku

Liputangampongnews.id - Suatu Siang di Pulot Ijo Cot Geuleungku seorang ibu dengan cekatan membungkus ketan hijau dengan daun pisang. Diciduknya dengan sendok di tangannya ketan hijau dari baskom seraya sesekali menggisarkan pandangnya ke arah jalan. Dengung kendaraan di jalan sana seakan tak pernah henti berdengung. 

Bungkusan-bungkusan ketan dibungkus daun yang sudah siap, dibawa anaknya ke tempat pemanggangan di bahu jalan Medan - Banda Aceh. Di sana bungkusan itu akan dipanggang. Jika dirasa mau habis, ditambah lagi bungkusan berisi ketan hijau ke perapian. 

Di dekat perapian, beberapa laki-laki sedang menggali tanah. Seberang sana juga digali. Lobang jalan seberang sana ke seberang satunya lagi kemudian ditembusi beberapa potongan besi yang disambung-sambungkan. Setelah tembus, akan dipasangi pipa untuk mengalirkan air bersih dari Batèe Iliek. 

"Saya bayar 4 juta," kata perempuan yang masih menciduk ketan hijau yang duduk di salah satu bangku di kedainya. 

Kedai tersebut dibuka paskatsunami, setelah suaminya meninggal. Sejak itu ia berusaha untuk tidak menyerah pada nasib. Setiap hari ia, anak, dan cucunya berangkat dari Gampông Tambui, Simpang Mamplam, beberapa kilometer dari ke Cot Geuleungku untuk berjualan. Jualan yang disediakan antaranya pulot ijo, lincah, mi Aceh berbahan sarimi, kepala, dan air tebu. 

"Satu hari bisa dua atau tiga bambu. Dua bambu ketan bisa jadi 250 pulot ijo," tambah perempuan tersebut. 

"Alhamdulillah ada-lah 4 atau 5 juta dengan berjualan. Saya bisa menyekolahkan anak-anak saya. Dua sudah menikah. Tinggal satu yang masih sekolah. Anak pertama saya malah sudah jadi guru. Cuma, sejak punya anak, anak saya tidak mau pergi honor lagi." 

Tampak anak perempuan yang sesekali menyambangi ayunan di dekat sang ibu ingin menjawab. Tapi pesanan pulot, minuman kelapa ada yang pesan, dia kembali bergegas membuatnya. 

"Pernah saya mengajar. Enam bulan. Setelah itu, karena sudah punya anak, saya berhenti," ucap anaknya beberapa waktu kemudian. Dia alumnus 2018 FKIP Fisika Almuslim, Matanggeulumpang Dua. 

Dia tampak kecewa. Seorang guru yang sakit-sakitan di sekolahnya dia gantikan mengajar. Guru PNS dan sertifikasi itu hanya membayarnya dan seorang temannya dengan biaya Rp 7000 per jam. 

Ditanya mengenai tes CPNS, dia cerita mengenai seorang teman dekatnya yang sudah jadi PNS di Takengon. Tapi dia memutuskan untuk tidak ikut seleks CPNS sejak 2018, 2019, dan 2020. 

"Satu hari saya kasih dia Rp 20 ribu. Kadang Rp 30 ribu sehari. Sementara dia 'ngajar cuma dikasih uang Rp 3500," ujar maknya yang disapa orang-orang dengan nama Kak Ni. 

Di bahu jalan, para lelaki yang dibayarnya untuk menyediakan air PDAM Batèe Iliek masih bekerja. Di dekat mereka perapian pulot ijo terus berasap. Perempuan separuh abad itu masih terus menyiapkan bahan jualannya. Setelah pulot ijo, ia pun menggonseng kacang tanah untuk bahan dasar lincah aceh. (Edi Miswar)