03 Agustus 2025
Kesehatan

RSUD Pidie Jaya Mendesak Butuh Ruang Rawat Inap Jiwa, Keluarga Pasien Kian Tertekan

Foto : Direktur RSUD Pidie Jaya, dr. H. Fajriman, Sp.S., M.Si.Med | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID – Kebutuhan akan ruang rawat inap bagi pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pidie Jaya, Meureudu, semakin mendesak. Hingga kini, layanan kesehatan jiwa di rumah sakit tersebut masih terbatas pada poli rawat jalan, tanpa fasilitas rawat inap.

Direktur RSUD Pidie Jaya, dr. H. Fajriman, Sp.S., M.Si.Med, mengatakan, pihaknya sudah lama mengusulkan pembangunan ruang rawat inap jiwa. Namun, keterbatasan anggaran daerah (APBK) Pidie Jaya menjadi kendala utama.

“Kami sangat membutuhkan ruang rawat inap untuk penderita gangguan jiwa atau orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Selama ini hanya bisa melayani pemeriksaan dan pemberian obat. Sementara permintaan dari masyarakat terus meningkat,” kata dr. Fajriman, saat ditemui liputangampongnews.id, Sabtu (02/08/2025).

Ia menambahkan, dalam beberapa kasus darurat, pasien jiwa yang dibawa ke IGD dalam kondisi krisis bisa membahayakan pasien lain karena tidak adanya ruang khusus.

“Kami mohon sangat agar pada 2026 fasilitas ini bisa terealisasi. Ini penting untuk meningkatkan layanan kesehatan masyarakat sesuai program Pemerintah Aceh,. Memang kita akui saat ini Pidie Jaya sudah bebas dari pasung.” ujarnya.

Untuk pendukungnya, RSUD Pidie Jaya telah menyiapkan Detail Engineering Design (DeD), lokasi pembangunan, serta tenaga spesialis. Pelatihan tenaga keperawatan jiwa juga telah dirancang. Namun, pembangunan ruang rawat inap belum dapat dilaksanakan karena kebutuhan anggaran cukup besar. Namun, Fasilitas ini akan menjadi harapan baru bagi ribuan pasien dan keluarganya,” tukas dr. Fajriman.

Sebagai satu-satunya rumah sakit rujukan di Kabupaten Pidie Jaya, RSUD yang berada di pusat ibukota Pidie Jaya ini terus berupaya meningkatkan pelayanan meskipun terbentur keterbatasan. Untuk itu, manajemen Rumah Sakit berharap ada dukungan dan intervensi dari pemerintah Provinsi Aceh maupun Pemerintah Pusat agar kebutuhan ruang rawat inap jiwa bisa segera direalisasikan." Harapnya.

Perlu diketahui, Poli jiwa RSUD Pidie Jaya yang telah beroperasi sejak November 2020 lalu mendapat respons positif dari masyarakat. Berdasarkan data kunjungan pasien, tercatat 2.454 pasien gangguan jiwa berobat di periode Januari–Juli 2025, dan sebanyak 4.028 pasien sepanjang 2024. Namun hingga kini, layanan masih terbatas pada rawat jalan dan memberikan obat saja.

Selama ini, pelayanan kesehatan jiwa hanya ditangani oleh seorang dokter spesialis, dr. Rizal, Sp.KJ, sebagai dokter kunjungan dari Kabupaten Bireuen yang hanya hadir dua hari dalam sepekan. Dan baru-baru ini sudah terbantu dengan adanya dr. Cut Fitri Annur, Sp.KJ, dokter PNS asal Pidie Jaya yang baru menyelesaikan pendidikan spesialis jiwa di Universitas Diponegoro, Semarang.

Sempat dimintai keterangan melalui pesan WhatsApp, Dokter spesialis kejiwaan dr. Rizal, Sp.KJ., menjelaskan bahwa ruang rawat inap jiwa sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, memperpanjang masa remisi, serta memulihkan fungsi sosial mereka.

“Fasilitas rawat inap membantu proses penyembuhan secara menyeluruh. Jika didukung pengobatan yang tepat dan keterlibatan keluarga, pasien bisa kembali berfungsi dalam masyarakat dan bahkan bekerja lagi,” terangnya.

Sementara itu, bangunan yang digunakan untuk poli jiwa saat ini masih berupa kontainer bantuan dari Universitas Syiah Kuala (USK) pascagempa tahun 2017. Kondisinya sungguh miris dan dinilai jauh dari standar ideal pelayanan kesehatan jiwa.

Dengan ketiadaan ruang rawat inap jiwa berdampak langsung pada keluarga pasien. Banyak di antaranya berasal dari kalangan tidak mampu, sehingga tak sanggup membawa pasien ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh di Banda Aceh karena kendala biaya transportasi, penginapan, dan pendampingan.

Hal ini memicu terjadinya praktik pasung terhadap ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa), yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia dan dapat memperburuk kondisi pasien.

Maya Sari, warga Bandar Dua, juga diminta keterangan oleh awak media mengaku keluarganya terpaksa menghadapi kondisi adiknya yang mengalami gangguan jiwa tanpa bantuan berarti dari lembaga layanan sosial maupun kesehatan.

“Kami sudah mencoba ke Puskesmas, Dinas Sosial, bahkan rumah sakit. Tapi semua hanya saling lempar tanggung jawab. Tidak ada ruang rawat inap jiwa yang bisa melakukan perawatan intensif kepada adik kami dan tidak tahu harus mengadu ke mana lagi. Seandainya ada ruang rawat inap di RSUD Pidie Jaya mungkin sangat meringankan beban biaya dalam perawatan adik kami” ujarnya.

Menurut Maya, bahkan dulu adiknya terpaksa harus dipasung. Lalu, jika mereka mempasung adiknya yang mengalami gangguan jiwa nantinya dianggap melanggar hukum. Namun jika nanti kambuh, terpaksa harus dipasung lagi, andaikan dibiarkan pasien bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.

“Kami butuh pertolongan nyata dari pengambil kebijakan demi kepentingan masyarakat bukan sekadar janji atau aturan di atas kertas,” tandasnya. (*)