Pembantaian Teungku Bantaqiah
Foto : Aulia Urrahman | LIPUTAN GAMPONG NEWS
LIPUTANGAMPONGNEWS.ID - Pada tahun 1999 silam, telah terjadi peristiwa mengerikan yang juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni Peristiwa Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai Peristiwa Tengku Bantaqiah.
Peristiwa ini bermula dari tuduhan tidak berdasar pihak TNI terhadap Tengku Bantaqiah (seorang pimpinan Pesantren Babul Al Nurillah) bahwa dirinya adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menyimpan logistik berupa senjata untuk GAM di pesantrennya.
Tuduhan ini tidak terbukti, namun imbasnya Pesantren Babul Al Nurillah menjadi salah satu target pembantaian TNI dalam operasi militer 23 Juli 1999 di bawah komando Korem 011/Lilawangsa bersama dengan Batalyon 328 Kostrad yang menyebabkan Tengku Bantaqiah dan putranya (Usman Bantaqiah), serta 54 santri meninggal dunia.
Secara formal kasus ini telah diselesaikan melalui mekanisme pengadilan koneksitas pada tahun 2000. Namun, penyelesaiannya belum mampu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya serta hanya digelar sebagai formalitas untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa “pengadilan telah terlaksana”.
Kasus ini dinilai mandek dan tidak ada atensi khusus dari pemerintah pusat maupun daerah. Padahal, melalui pihak KKR Aceh yang pada tahun 2020 telah menyatakan akan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait seperti Pemerintah Kabupaten Nagan Raya, keluarga korban, serta pimpinan Dayah untuk bersama-sama mewujudkan pembangunan memorialisasi kasus Tengku Bantaqiah sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan agar hak keluarga korban dipenuhi oleh negara.
Bahkan di tengah penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang tidak kunjung tuntas, masyarakat Beutong Ateuh harus senantiasa bertarung dengan upaya pengrusakan situs budaya dan sejarah serta lingkungan yang terancam perusahaan tambang. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keterangan bernomor 66/1/UP/PMA/2017 tertanggal 19 Desember 2017 dan SK ini meningkatkan status izin usaha pertambangan eksplorasi milik Perusahaan Tambang (PT) Emas Mineral Murni (EMM) menjadi izin usaha produksi untuk komoditas emas di atas areal seluas 10.000 hektare. Perizinan tersebut patut diduga melanggar hukum karena sejak awal telah menyalahi beberapa prosedur, diantaranya adalah izin tidak dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang (diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2009 dan Pasal 165 ayat (11) UU Nomor 11 Tahun 2006). Areal pertambangan juga mencakup sebelas cagar budaya berupa makam-makam yang disakralkan masyarakat setempat sehingga keberadaannya wajib dilindungi oleh pemerintah mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010.
Berdasarkan kronologi ini secara umum pemerintah dalam menjalankan kewenangannya telah mengabaikan dua dari delapan asas umum pemerintahan yang baik menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 yakni asas kecermatan dan asas kepentingan umum.
Izin pertambangan yang diberikan kepada PT. EMM tentu menuai berbagai macam penolakan dari masyarakat baik disuarakan secara langsung melalui aksi massa maupun gugatan hukum di pengadilan. Pada tahun 2018, masyarakat Beutong Ateuh bersama dengan Walhi Aceh menggugat Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT EMM yang diterbitkan oleh BKPM RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Upaya tingkat pertama pun kalah, kemudian Walhi bersama dengan warga melanjutkan upaya banding yang juga kalah.
Namun, pada tingkat kasasi gugatan ini kemudian dimenangkan oleh masyarakat Beutong Ateuh, yang kemudian BKPM merasa keberatan dan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan PT.TUN Jakarta Nomor 192/B/LH/2019/PT.TUN.JKT pada tanggal 14 Desember 2020. Beruntungnya, keadilan masih berpihak pada masyarakat Beutong Ateuh. Mahkamah Agung kemudian menolak PK BKPM RI terkait izin tambang PT. EMM di Beutong Ateuh.
Mahkamah Agung memenangkan gugatan ini dengan beberapa pertimbangan salah satunya karena areal izin mengenai lokasi-lokasi paling bersejarah di Provinsi Aceh seperti kuburan massal pasukan Cut Nyak Dhien, kuburan Tengku Alue Panah, dan merupakan lokasi pembuangan mayat murid Tengku Bantaqiah yang merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang diakui dunia.
Meskipun, secerca keadilan telah berpihak pada masyarakat Beutong Ateuh namun tentu perlu pengawalan bersama untuk memastikan BKPM RI mengeksekusi putusan Mahkamah Agung dan menghentikan segala bentuk aktivitas penambangan yang dapat merusak situs budaya dan sejarah serta lingkungan di Beutong Ateuh.
Pembantaian Tengku Bantaqiah menurut penulis adalah kasus besar namun dianggap layas oleh banyak okonum apalagi kasus ini banyak menuai kontra atas kerugian yang terjadi dan banyak sekali memakan korban tak bersalah, kasus ini hanya tuduhan tidak berdasar pihak TNI terhadap Tengku Bantaqiah bahwa dirinya adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan menyimpan logistik berupa senjata untuk GAM di pesantrennya.
Tuduhan ini tidak terbukti, namun imbasnya Pesantren Babul Al Nurillah menjadi salah satu target pembantaian TNI dalam operasi militer 23 Juli 1999 di bawah komando Korem 011/Lilawangsa bersama dengan Batalyon 328 Kostrad yang menyebabkan Tengku Bantaqiah dan putranya (Usman Bantaqiah), serta 54 santri meninggal dunia, akan tetapi secara formal kasus ini telah diselesaikan melalui mekanisme pengadilan koneksitas pada tahun 2000. Namun, penyelesaiannya belum mampu memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya serta hanya digelar sebagai formalitas untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa “pengadilan telah terlaksana, namun kasus ini dinilai tidak sesuia rencana kasus tersebut hanya berhenti di situ saja, bahkan tidak ada pembelaan,dan ganti rugi untuk kasus ini.
Maka di sini pemerintah terlihat lalai dengan kasus yang cukup besar bahkan kasus ini tidak tersebar luas beritanya, sehingga hanya berehinti di pengadilan yang sampai sekarang tidak ada keadalian yang di dapat oleh Tengku Bantaqiah beserta korban lainnya.
Harusnya menurut penulis, pemerintah tidak perlu menutup-nutupi kasus pembantaian Tengku Bantaqiah , apalagi kasus ini hanya sebatas tuduhan yang tidak ada dasar bahkan tak terbukti, di mana pemerintah juga perlu mengeluarkan pernyataan secara terang terangan mengenai bagaimana hasil sebenar-benar nya untuk hal hukuman yang di berikan kepada pelaku karaena telah menuduh dengan dan tanpa bukti, hukum di Indonesia seharusnya di tegakkan tanpa memandang atas dan bawah yang sesuai dengan pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia yang mengungkapkan mengenai perlakuan yang sama di mata hukum.
Penegakan hukum sebenarnya perlu dilakukan bukan hanya oleh pemerintah dan kepolisian tetapi juga harus di tegakan oleh seluruh masyarakat Indonesia, kesadaran hukum menjadi penting karena apabila masyarakat Indonesia sadar akan hukum yang berlaku di Indonesia maka mereka tidak akan meremehkan hukum, kesadaran hukum masyarakat Indonesia merupakan salah satu kunci terselesaikannya masalah-masalah HAM di Indonesia.
Kedepannya penuh harapan agar sekiranya pemerintah sigap, dan tanggap untuk mengusut kasus HAM yang selalu di anggap sepele oleh pihak pemerintahan apalagi seperti kasus pembantaian Tengku Bantaqiah yang hingga sekarang belum ada kejelasan dan keadilan yang didapat, bukan hanya kasus pembantaian Tengku Bantaqiah saja tetapi banyak kasus-kasus HAM lainnya yang juga belum jelas keadilannya. (*)
Penulis: Aulia Urrahman (2110103010006). Seorang Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.