26 Juli 2025
Proh Cakra

Pawang Beurandeh & Polem Beuransah: Menjala Janji Perubahan di Laut Anggaran

Foto : Pawang Beurandeh & Polem Beuransah | LIPUTAN GAMPONG NEWS

Polem Beuransah: Laut ini memang luas, Pawang. Tapi luas lagi permainan anggaran di darat. Omong kosongnya tak bertepi.

Pawang Beurandeh: Butoi Polem. Di laut, ikan bisa dipancing dengan umpan. Di darat, anggaran dipancing dengan lobi dan kedekatan.

Polem: Katanya demi rakyat, tapi yang kenyang justru yang duduk dekat kekuasaan. Yang jauh? Hanya dapat keulimeh janji.

Pawang: Anggaran itu sekarang kayak kolam milik pribadi. Yang dapat cuma yang punya akses masuk lewat pintu belakang kekuasaan.

Polem: Dengar-dengar, dana cuma mengalir ke kampung yang satu warna dan memiliki pengaruh terhadap kekuasaan. Yang lain, biar kering kayak kemarau panjang.

Pawang: Lucunya, mereka berkoar soal pemerataan. Padahal yang terjadi, cuma pembagian kue politik yang tak rata.

Polem: Dewan sibuk interpelasi, penguasa sibuk framing di media. Sementara pembangunan mandek, jalan rusak, rakyat buntung.

Pawang: Kalau rakyat protes, dibilang kurang bersyukur. Padahal yang bikin lapar bukan Tuhan, tapi birokrasi yang pincang.

Polem: Banyak OPD sekarang tidak loyal, bukan karena melawan, tapi karena menolak jadi tukang stempel anggaran titipan.

Pawang: Birokrasi bukan tempat loyalitas membabi buta. Tapi sekarang, yang waras disingkirkan, yang penjilat dipromosikan.

Polem: Rapat DPRK makin sering, tapi makin jauh dari suara nelayan, petani, dan ibu-ibu yang antre gas elpiji 3 kg.

Pawang: Mereka pintar berdiskusi, tapi lupa mendengar. Mungkin telinga mereka tertutup aspirasi.

Polem: Konon katanya anggaran tak proporsional. Tapi yang dekat penguasa dapat dermaga, yang jauh tak kebagian tali.

Pawang: Ibarat jala yang hanya ditebar di satu sisi laut. Yang lain, dibiarkan kosong melompong.

Polem: Penguasa bilang dewan menghambat pembangunan. Sementara Dewan bilang Penguasa yang tak peka. Tapi rakyat tahu: dua-duanya haus kuasa, bukan solusi.

Pawang: Mereka main drama politik, kita jadi penonton yang bayar tiketnya dari uang pajak dan harapan yang dikubur.

Polem: Yang lebih miris, mereka sibuk perkuat barisan, bukan perkuat pelayanan. Sibuk saling sandera, bukan saling dukung.

Pawang: Kalau kayak gini terus, APBK bisa jadi akta perceraian antara harapan rakyat dan logika penguasa.

Polem: Kadang aku pikir, siapa sebenarnya yang layak disebut “wakil rakyat”? Yang bersuara keras, atau yang diam demi jabatan?

Pawang: Yang paling parah, mereka lupa bahwa rakyat bukan tuli. Kita cuma diam, bukan bodoh.

Polem: Kalau rakyat mulai sadar, yang harus takut bukan ombak laut, tapi badai suara yang akan menyapu kursi-kursi empuk mereka pada pileg dan pilkada mendatang. (*)