30 Desember 2025
Daerah
BANJIR PIDIE JAYA

Pasca Banjir, Pemulihan Pidie Jaya Masih Membutuhkan Perhatian Serius, Peran Anggota Dewan Masih Abu Abu

LIPUTANGAMPONGNEWS.ID -Penanganan bencana banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, kembali menelanjangi watak lama tata kelola kebencanaan, bergerak setelah air datang, sibuk ketika lumpur sudah menutup rumah warga. Pola “pemadam kebakaran” ini terus berulang, respon cepat saat darurat, namun abai pada pencegahan. Ketika banjir bandang terjadi, semua seolah terkejut, padahal tanda-tandanya telah lama terhampar di hadapan mata.

Alam kembali dijadikan terdakwa tunggal. Siklon tropis Senyar disebut sebagai biang keladi hujan ekstrem yang memicu banjir bandang. Namun, menyalahkan cuaca semata adalah jalan pintas yang menutup kegagalan manusia. Di balik derasnya hujan, ada tata kelola hutan yang rapuh, seperti  perambahan, alih fungsi lahan, dan pembiaran sistemik yang dibiarkan bertahun-tahun tanpa koreksi serius.

Pidie Jaya membayar mahal kelalaian itu. Sungai kehilangan daya tampung, hutan kehilangan fungsi serap, dan air akhirnya mencari jalannya sendiri ke rumah-rumah warga. Banjir bukan sekadar peristiwa alam, ia adalah akumulasi kebijakan yang gagal membaca risiko. Mitigasi tak pernah menjadi prioritas, baru menjadi wacana ketika bencana sudah menjelma jadi derita warga.

Ironisnya, pascabencana pun tak menunjukkan wajah pemerintah yang sigap. Hingga hari ke-36, sejumlah warga masih terkatung-katung. “Kami belum bisa pulang ke rumah,” ujar salah seorang warga Kecamatan Meureudu kepada media ini, Selasa (30/12).  Lumpurnya belum dibersihkan tuntas, puing masih berserakan, dan harapan terasa mengendap bersama sisa banjir.

Kondisi serupa juga dialami lembaga pendidikan dayah. Salah seorang pimpinan dayah di Pidie Jaya mengungkapkan, proses belajar mengajar belum bisa diaktifkan. “Lingkungan masih tertimbun lumpur, ruang belajar tidak layak,” katanya. Bagi santri, waktu terus berjalan, tetapi penanganan pasca benca seolah berjalan di tempat.

Pemerintah daerah terkesan  kebingungan menentukan prioritas. Keterbatasan alat berat menjadi alasan klasik. Namun di sinilah persoalannya, bencana besar di wilayah rawan seharusnya sudah diantisipasi dengan kesiapsiagaan dan perencanaan matang, bukan improvisasi pasca kejadian. Ketika alat berat minim, truk pengangkut terbatas, yang tergilas adalah hak dasar warga untuk pulih.

Keterlambatan penanganan ini menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana belum menjadi fondasi pembangunan daerah. Pidie Jaya seolah hidup dari satu banjir ke banjir berikutnya, tanpa jeda untuk belajar dan berbenah. Setiap bencana datang, luka lama kembali dikoyak, dan janji perbaikan kembali menguap.

Jika pola ini terus dipertahankan, banjir hanya tinggal menunggu musim. Pidie Jaya tidak membutuhkan simpati sesaat, melainkan keberanian untuk mengakui kegagalan, membenahi tata kelola lingkungan, dan menjadikan mitigasi sebagai keharusan, bukan sekadar slogan pascabencana.

Sementara itu, Al Fadhir warga Gampong Meunasah Bie mengatakan, penanganan pascabencana banjir di Pidie Jaya masih lambat. Banyak gampong, terutama yang masuk ke wilayah yang jauh dari jalan nasional, belum sepenuhnya dibersihkan. Huntara belum dibangun, korban masih tinggal di pengungsian, dan ancaman penyakit kian nyata. Pemulihan ekonomi juga terhambat karena banyak warga kehilangan mata pencaharian, sementara alat berat sulit menjangkau lorong-lorong yang jauh dari jalan utama.

Pemkab diharapkan berperan aktif dengan mengerahkan alat berat dan menambahkan beko kecil dan truk pengankut untuk fokus pada pemulihan, jangan hanya berharap pada pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Selain itu, kata dia, eksekutif dan legislatif harus bersinergi demi kepentingan masyarakat. Hingga kini, peran anggota Dewan masih belum terlihat jelas dalam mempercepat proses pemulihan pascabencana.

Ketua Komunitas Pijay Gleeh, Fazli Husin, mengatakan perlunya penanganan yang lebih serius, terutama terkait pembersihan lumpur di lingkungan dan rumah warga. Menurutnya, lumpur yang menumpuk terlalu banyak untuk dibersihkan hanya dengan tenaga manusia, sehingga diperlukan tambahan alat berat dan truk pengangkut material. (**)