30 Mei 2025
Opini

KONI Bukan Panggung Tambahan Ambisi Birokrat

Foto : Istimewa (Dok. Google) | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) memikul tanggung jawab besar sebagai garda terdepan pembinaan olahraga nasional, termasuk di tingkat daerah seperti Kabupaten Pidie Jaya yang baru saja selesai melakukan Musyawarah Olahraga Kabupaten (Musorkab) Ke IV Tahun 2025.

Namun, belakangan, publik dihebohkan dengan maraknya pejabat eselon II yang berambisi mengisi pos-pos strategis di tubuh organisasi ini. Fenomena ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan ancaman serius terhadap profesionalisme dan masa depan olahraga daerah.

Tumpang tindih jabatan antara birokrasi pemerintahan dan struktur KONI ibarat bom waktu. Di satu sisi, pejabat eselon II memiliki tugas pokok melayani publik, sementara di sisi lain, KONI membutuhkan dedikasi penuh untuk membina atlet dan merancang program jangka panjang. Ketika dua kepentingan ini bercampur, yang terjadi adalah conflict of interest, inefisiensi, dan melemahnya akuntabilitas.  

Sejumlah masyarakat pemerhati kebijakan publik menyoroti bahwa kehadiran pejabat aktif di tubuh KONI berpotensi menjadi pintu masuk intervensi politik.

Olahraga seharusnya dikelola oleh mereka yang memahami denyut nadi dunia sport, bukan oleh birokrat yang mungkin hanya menjadikan KONI sebagai batu loncatan karier atau perluasan pengaruh.  

KONI bukan organisasi seremonial belaka. Ia adalah jantung yang memompa darah segar bagi prestasi atlet daerah. Karena itu, proses pembentukan pengurus harus ketat, transparan, dan berorientasi pada kompetensi.

Figur-figur seperti pelatih bersertifikat, mantan atlet berprestasi, akademisi olahraga, atau tokoh masyarakat dengan komitmen nyata harus diutamakan. 

Mereka inilah yang paham betul bagaimana mengidentifikasi bakat, merancang program latihan, dan memastikan atlet mendapat dukungan maksimal.

Sementara itu, politisi pencari popularitas atau pengusaha oportunis hanya akan menjadikan KONI sebagai proyek pencitraan, bukan wadah pengembangan olahraga yang tulus.

Aspirasi masyarakat Pidie Jaya yang menolak pejabat eselon II menduduki jabatan strategis di KONI patut didukung. Ini adalah bentuk kesadaran kolektif bahwa olahraga harus dikelola secara profesional, jauh dari kepentingan birokrasi yang sempit. 

Namun, pengecualian bisa diberikan untuk posisi tertentu seperti administrasi dan keuangan, yang justru lebih tepat dipegang oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) demi menjamin akuntabilitas.

Selain itu, keterlibatan anggota parlemen atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) perlu diperkuat bukan untuk mendominasi, melainkan memastikan adanya alokasi anggaran dan kebijakan yang mendukung kemajuan olahraga. 

Reformasi birokrasi harus berjalan beriringan dengan reformasi tata kelola olahraga. KONI bukan tempat untuk memuaskan ambisi kekuasaan, melainkan wadah perjuangan bagi mereka yang ingin mengabdikan diri secara tulus bagi kemajuan atlet dan prestasi daerah. 

Jika kita serius ingin melihat olahraga Indonesia bersaing di level global, maka langkah pertama adalah memastikan KONI dipimpin oleh orang-orang yang tepat: yang memiliki integritas, kompetensi, dan yang terpenting hati untuk olahraga. (ISO)