Kesesatan Nalar Prof. Achmad Chodjim: Antara Spiritualitas Kosong dan Dekonstruksi Islam
Oleh: Tgk. Syahrul Mizan, S.Ag - Pimpinan Pondok Pesantren Darul Maghfirah Paya Cut, Matang Geuleumpang Dua, Bireuen
“Ada banyak jalan menuju Tuhan,” kata mereka. Tapi mereka lupa, Tuhan sudah tunjukkan satu jalan yang lurus shiratal mustaqim. Mengapa mencari-cari jalur simpang yang kabur dan kelam?”
OPINI - Di tengah kebingungan umat yang haus akan ketenangan spiritual, muncullah sosok-sosok yang menawarkan jalan pintas menuju "Tuhan" tanpa syariat, tanpa tanggung jawab akidah, dan tanpa bimbingan ulama. Salah satu di antaranya adalah Prof. Achmad Chodjim seorang akademisi sekaligus penulis spiritualisme trans-religius yang sangat populer di kalangan pencari ‘makna batin’ agama.
Namun, yang jadi soal adalah pemikiran beliau bukan sekadar perbedaan tafsir, tapi sudah masuk ke wilayah kesesatan pemikiran yang membahayakan iman umat. Sebagai seorang yang berkecimpung di pesantren dan membimbing para santri, saya merasa penting untuk menyampaikan beberapa catatan kritis terhadap gagasan-gagasan Prof. Chodjim yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para ulama muktabar.
1. Relativisme Agama dan Kekeliruan Spiritualitas
Dalam beberapa bukunya, Chodjim menyatakan bahwa semua agama adalah benar dan sama-sama menuju Tuhan, bahkan mengklaim bahwa eksklusivitas Islam adalah “produk pikiran sempit”. Padahal Al-Qur’an tegas mengatakan
"Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam."
(QS. Ali Imran: 19)
Para ulama tafsir seperti Imam Ath-Thabari dan Imam Ibn Katsir sepakat bahwa ayat ini adalah pengingkaran terhadap relativisme agama. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda
> "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, Yahudi atau Nasrani, mendengar tentangku lalu ia tidak beriman kepadaku dan meninggal dalam keadaan demikian, kecuali dia akan menjadi penghuni neraka."
(HR. Muslim)
Maka, menyamakan semua agama sebagai jalan menuju keselamatan adalah kekufuran ilmiah yang memutarbalikkan wahyu.
2. Menolak Syariat, Menjunjung Simbolisme
Chodjim kerap menyebut shalat, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lahir sebagai “simbol”, bukan kewajiban mutlak. Bahkan dalam salah satu wawancaranya, ia menyebut bahwa shalat lima waktu bisa diganti dengan “kesadaran spiritual kapan saja”.
Ini bukan sekadar sesat, tapi penghapusan hukum Allah secara terang-terangan. Syariat adalah bagian integral dari Islam, dan meninggalkannya adalah jalan menuju kemunafikan.
Rasulullah bersabda
"Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya, maka dia telah kafir."
(HR. Tirmidzi)
3. Menafsir Al-Qur’an Tanpa Ilmu
Chodjim cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara bebas, tidak merujuk pada tafsir para ulama, melainkan menggunakan pendekatan mistik Timur, psikologi Jung, hingga simbolisme kosmologi India.
Padahal Imam Syafi’i telah mengingatkan
"Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an tanpa ilmu, maka hendaklah dia menempati tempatnya di neraka."
Al-Qur’an bukanlah teks puisi yang bebas diinterpretasikan menurut selera pribadi. Ia adalah kalamullah, yang harus ditafsirkan dengan ilmu, sanad, dan adab.
4. Menolak Realitas Surga dan Neraka
Lebih berani lagi, Chodjim menyebut bahwa surga dan neraka bukanlah tempat nyata, melainkan “dimensi kesadaran jiwa”. Pandangan ini lebih mirip ajaran reinkarnasi atau spiritualisme India daripada akidah Islam.
Padahal Rasulullah ﷺ menjelaskan secara detail gambaran surga dan neraka: dari pohon-pohonnya, makanan, azab, hingga jenis penghuninya. Bahkan disebutkan bahwa surga dan neraka telah diciptakan sekarang, bukan sekadar simbol.
Kembali ke Jalan Para Ulama
Di zaman ini, saat batas antara hikmah dan kebatilan semakin tipis, kita butuh panduan ulama bersanad yang terjaga. Bukan spiritualitas kosong tanpa syariat. Bukan simbolisme bebas tanpa tanggung jawab akidah.
Prof. Achmad Chodjim adalah contoh nyata dari apa yang dikatakan Rasulullah:
"Akan datang suatu zaman, orang-orang sesat akan berbicara kepada manusia, mereka menyesatkan dan disesatkan."
(HR. Ahmad)
Kepada umat, terutama generasi muda dan para pencari hakikat, saya sampaikan jangan pernah tinggalkan syariat demi spiritualitas semu. Islam bukan hanya tentang rasa, tetapi jalan yang lurus dan jelas, dari wahyu yang dijaga.
Mari kita kembali kepada ulama, kepada pesantren, kepada Al-Qur’an dan Hadis. Bukan kepada akal yang lepas dari cahaya wahyu.
Wallahu a’lam bis shawab.