11 Oktober 2025
Opini

Kenapa Pidie Jaya Masih Miskin?

Foto : Dok. Google Images/Ilustrasi | LIPUTAN GAMPONG NEWS

OPINI - Pidie Jaya lahir pada tahun 2007 dengan harapan besar, menjadi daerah otonom baru yang lebih sejahtera, lebih dekat dengan rakyat, dan lebih cepat berkembang dibanding kabupaten induknya, Pidie. Namun, hampir dua dekade kemudian, fakta berbicara lain. Pidie Jaya masih berada di jajaran kabupaten dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi di Aceh. Data BPS mencatat angka kemiskinan Pidie Jaya pada Maret 2024 sebesar 14,54%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pertanyaan besar pun muncul, kenapa Pidie Jaya masih miskin?

Penyebab pertama tentu bukan semata-mata rendahnya pendidikan atau keterbatasan sumber daya manusia. Sebab, tanah Pidie Jaya subur, lautnya luas, dan potensinya berlimpah. Masalahnya justru terletak pada sistem birokrasi yang lamban, manajemen pembangunan yang buruk, dan praktik korupsi yang sejak awal pemekaran sudah menjadi penyakit akut.

Beberapa kasus korupsi yang mencuat di media, menyeret pejabat dan rekanan di Pidie Jaya bukan lagi rahasia. Dari dugaan penyelewengan dana pembangunan infrastruktur hingga penyalahgunaan anggaran publik, semuanya menunjukkan satu hal, kemiskinan di Pidie Jaya sebagian besar adalah buatan manusia, bukan takdir alam. Ketika anggaran pembangunan bocor, rakyat hanya mendapat sisa-sisa program tanpa hasil nyata.

Celakanya, pola korupsi di Pidie Jaya tidak berhenti pada satu periode pemerintahan saja. Setiap pergantian pimpinan, muncul lagi cerita tentang penyalahgunaan dana. Mulai dari kasus dugaan  proyek fiktif, mark-up belanja, hingga "bancakan" dana hibah. Akibatnya, anggaran daerah yang seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat justru menjadi "pesta elit" yang menambah jarak antara pemerintah dan masyarakat.

Bila dilihat dari sisi struktural, Pidie Jaya masih terlalu bergantung pada dana transfer pusat, terutama Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA). Sayangnya, dana besar itu tidak dikelola dengan transparan dan akuntabel. Tanpa kontrol ketat, DOKA justru menjadi ladang subur untuk praktek rente dan proyek asal jadi. Inilah salah satu penyebab utama kenapa Pidie Jaya sulit keluar dari jebakan kemiskinan.

Lalu bagaimana dampaknya? Rakyat kecil semakin terhimpit. Mereka yang hidup dari bertani dan melaut hanya bisa mengais rezeki seadanya, sementara akses terhadap modal, pasar, dan teknologi modern nyaris tak tersentuh. Investasi swasta pun enggan masuk karena melihat tata kelola yang tidak kondusif. Maka, Pidie Jaya terus berjalan di tempat, sementara kabupaten lain mulai berlari.

Namun, menyalahkan korupsi tanpa memberi solusi tentu tidak cukup. Jalan keluar pertama adalah membangun sistem pemerintahan yang bersih dan terbuka. Pidie Jaya butuh pemimpin yang berani memutus rantai rente politik, menutup celah korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, serta melibatkan masyarakat dalam pengawasan anggaran. Transparansi bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak.

Selain itu, perlu strategi konkret dalam mengangkat ekonomi lokal. Pidie Jaya harus berani fokus pada dua kekuatan utamanya yakni pertanian dan kelautan. Dengan dukungan teknologi tepat guna, akses pasar, dan kemitraan dengan swasta, kedua sektor ini bisa menjadi mesin penggerak ekonomi baru. Bukan sekadar proyek seremonial, tapi benar-benar program jangka panjang yang menyejahterakan rakyat.

Pidie Jaya juga perlu keluar dari ketergantungan pada dana pusat dengan mendorong PAD (Pendapatan Asli Daerah) secara kreatif. Potensi wisata, hasil bumi, dan industri kecil harus dipacu. Jika tidak, maka selamanya Pidie Jaya hanya menjadi "kabupaten subsidi" tanpa daya saing.

Akhirnya, jawaban kenapa Pidie Jaya masih miskin sesungguhnya ada pada keberanian untuk berubah. Kemiskinan bukanlah nasib, tapi hasil dari pilihan kebijakan yang salah. Jika elit terus bermain dengan uang rakyat, maka 20 tahun lagi pun Pidie Jaya tetap miskin. Tetapi jika keberanian melawan korupsi, membangun ekonomi rakyat, dan membuka ruang transparansi dijalankan, maka Pidie Jaya bisa bangkit. Kuncinya sederhana, hentikan korupsi, dan rakyat akan menemukan jalannya menuju sejahtera. (TS)