Indonesia dalam Pusaran Politik Kesehatan Global
OPINI - Pasca COVID-19, dunia bergerak cepat menyusun arsitektur baru untuk menghadapi ancaman pandemi masa depan. Dua instrumen utama tengah digodok oleh **Organisasi Kesehatan Dunia (WHO): Pandemic Agreement (perjanjian pandemi) dan amandemen International Health Regulations (IHR). Keduanya tengah dibahas intensif di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui sidang tahunan World Health Assembly (WHA), yang digelar di Jenewa.
Apa Itu Pandemic Agreement?
Pandemic Agreement adalah perjanjian internasional baru yang dirancang untuk memperkuat kerja sama global dalam deteksi, respons, dan pemulihan pandemi. Perjanjian ini mencakup:
Mekanisme pembagian informasi patogen secara terbuka (Pathogen Access)
Keadilan akses terhadap vaksin dan teknologi medis (Benefit Sharing)
Pendanaan global darurat kesehatan
Koordinasi sistem peringatan dini global (Early Warning System)
Namun, sejumlah pasalnya dikritik karena bisa membuka peluang dominasi WHO atas kebijakan kesehatan domestik negara anggota, bahkan tanpa persetujuan legislatif nasional.
Apa Itu Amandemen IHR?
International Health Regulations (IHR) adalah perjanjian internasional yang mengikat 196 negara anggota WHO, yang mengatur respons terhadap ancaman kesehatan lintas batas. Saat ini, WHO dan negara-negara anggotanya sedang membahas amandemen IHR di forum PBB, melalui World Health Assembly 2024–2025.
Beberapa poin krusial amandemen:
Mempercepat respon negara dalam 48 jam terhadap notifikasi WHO
Menambahkan kekuatan WHO dalam mendeklarasikan "pandemic emergency"
Kewajiban berbagi data patogen/genom tanpa jaminan timbal balik
Menyisipkan bahasa yang dapat membatasi kebebasan negara dalam menentukan langkah tanggap pandemi
Meski tujuannya untuk mempercepat penanganan krisis, amandemen ini dikhawatirkan mengikis prinsip kedaulatan nasional, terutama bagi negara-negara berkembang.
Mengapa Amerika dan Rusia Menolak?
Amerika Serikat meski secara umum mendukung penguatan WHO, menolak sejumlah klausul karena:
Kekhawatiran terhadap hilangnya kendali domestik atas kebijakan kesehatan
Kewajiban pembagian teknologi medis tanpa jaminan hak paten
Tekanan politik dalam negeri, terutama dari kubu konservatif yang menolak intervensi WHO
Rusia bersikap lebih tegas, menolak sepenuhnya baik pandemic agreement maupun amandemen IHR, dengan alasan:
Ketidakpercayaan terhadap dominasi negara Barat dalam lembaga internasional
Kekhawatiran bahwa WHO dijadikan instrumen tekanan politik
Menolak segala bentuk intervensi dalam kebijakan dalam negeri
Pandangan dr. Siti Fadilah Supari
Mantan Menkes RI, dr. Siti Fadilah Supari, jauh sebelumnya telah menyoroti ketimpangan sistem kesehatan global. Dalam kasus flu burung (H5N1), ia menolak sistem WHO yang mengharuskan Indonesia menyerahkan virus kepada laboratorium asing tanpa jaminan mendapat akses vaksin hasil pengembangannya.
Dalam berbagai pernyataan terbaru, beliau mengingatkan bahwa:
“Virus dari negara miskin dijadikan bahan riset, vaksin dikembangkan di negara kaya, lalu dijual mahal ke negara asal virus.”
Pandangan beliau mencerminkan kegelisahan mendalam negara-negara Global South terhadap praktik global yang timpang dan tidak adil.
Bagaimana Seharusnya Sikap Indonesia?
Sebagai negara demokrasi besar dan anggota G20, Indonesia harus mengambil sikap cerdas dan berdaulat, bukan hanya menjadi pengikut pasif. Langkah strategis yang dapat diambil:
Menolak ratifikasi terburu-buru atas Pandemic Agreement dan IHR Amendment sebelum dilakukan kajian hukum konstitusional dan konsultasi publik.
Memasukkan reservasi (keberatan resmi) terhadap pasal-pasal yang mengancam kedaulatan nasional, terutama terkait intervensi kebijakan darurat.
Mengusulkan mekanisme perlindungan hak negara berkembang, termasuk dalam hal pembagian teknologi dan vaksin.
Membangun aliansi Global South, khususnya negara ASEAN, OKI, dan Afrika, untuk mengawal keadilan dan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan di WHO.
Mendesak reformasi WHO agar lebih transparan dan demokratis, serta bebas dari dominasi negara donor atau korporasi farmasi global.
Solidaritas global dalam menghadapi pandemi adalah kebutuhan bersama. Namun, solidaritas tidak boleh dibangun di atas ketidakadilan dan penghilangan kedaulatan. Indonesia harus berdiri di garis depan dalam membela prinsip keadilan global dan memperjuangkan sistem kesehatan internasional yang lebih setara dan manusiawi.
Fakhrurrazi,S.ST.,M.Si
Master Ilmu Manajemen Kebencanaan