17 Desember 2025
Daerah

Fenomena Plt Pasca Bencana, Aceh Selatan Menghadapi Krisis Struktur Pemerintahan

Penulis : Ferizal Salami, SE.Ak (Mahasiswa Magister FEB USK, Pemerhati Pemerintahan)

OPINI - Aceh Selatan sedang mengalami keganjilan birokrasi yang jarang ditemui, dimana bukan hanya kepala daerah yang berstatus sementara, tetapi nyaris seluruh ruang-ruang pengambilan keputusan strategis dipenuhi pejabat Plt. Dalam situasi normal, fenomena Plt adalah solusi sementara yang sah dalam hukum pemerintahan, untuk menjamin kesinambungan layanan ketika terjadi kekosongan struktural. Namun ketika status “sementara” menjadi aturan, bukan pengecualian, maka ia berubah menjadi penyakit struktural yang menular, yaitu legitimasi melemah, keputusan diperlambat, dan kapasitas pemerintah untuk merespons krisis berkurang. Kejadian ini menjadi lebih problematik lagi ketika menimpa daerah yang sedang dilanda bencana banjir dan longsor menuntut respons cepat, koordinasi lintas sektor, serta keputusan administrasi yang tegas. Aceh Selatan hari ini menempatkan kita pada persimpangan buruk antara keadaan darurat alam dan darurat tata kelola.

Dari sudut pandang akademik dan praktis, ada beberapa masalah mendasar yang muncul ketika Plt mendominasi ruang pemerintahan. Pertama, legitimasi. Pejabat definitif memperoleh legitimasi politik dan administratif dari proses pengangkatan atau mutasi yang formal, yaitu legitimasi yang mendorong dukungan internal birokrasi dan kepercayaan publik. Pejabat Plt, meski sah dalam pelaksanaan tugas, secara normatif sering dipersepsikan sebagai penjaga status quo; mereka cenderung menahan kebijakan besar yang berisiko atau memerlukan komitmen jangka panjang karena masa jabatan yang tidak pasti. Literatur administrasi publik menunjukkan bahwa kepemimpinan sementara meningkatkan kecenderungan "kebijakan menunggu" (policy waiting) dan menurunkan kapasitas inovasi organisasi. Dalam konteks penanganan bencana, efek ini berbahaya, dimana operasi evakuasi, alokasi darurat anggaran, atau reposisi sumber daya manusia membutuhkan keputusan yang cepat dan tegas, bukan sikap menunggu.

Kedua, manajemen sumber daya manusia. Skala fenomena Plt di Aceh Selatan, meliputi Plt Bupati, Plt Sekda, Plt kepala sejumlah dinas utama, serta puluhan eselon III, mengindikasikan adanya masalah dalam praktik pengisian jabatan, perencanaan SDM aparatur, atau tarik-menarik kepentingan politik-birokratik. Kolektivitas pejabat sementara ini menciptakan ketidakpastian karier yang memperlemah insentif kinerja. Pejabat yang ragu akan masa depan jabatannya cenderung menghindari keputusan yang dapat menimbulkan risiko personal atau politik, termasuk reformasi anggaran, penataan aset, atau pemangkasan program yang tidak efektif. Efek kumulatifnya adalah stagnasi manajerial pada saat publik justru membutuhkan akselerasi layanan dasar, yaitu sekolah, puskesmas, distribusi pangan, dan perumahan darurat.

Ketiga, koordinasi lintas sektor. Penanganan bencana efektif menuntut sinergi antara pemerintahan daerah, dinas teknis, TNI/Polri, lembaga kemanusiaan, dan masyarakat sipil. Keberadaan pejabat definitif menjadikan jalur koordinasi lebih tegas,  jelas siapa yang bertanggung jawab, siapa pemegang keputusan, dan siapa berwenang mengalokasikan sumber daya. Dengan dominasi Plt, alur wewenang sering kabur; mekanisme delegasi dan pertanggungjawaban melemah. Dalam kondisi lapangan yang cair seperti banjir besar, kerancuan peran ini berdampak langsung pada korban: bantuan terlambat, prioritas evakuasi salah sasaran, dan perencanaan pemulihan yang tidak berkelanjutan.

Pertanyaan publik yang kini bergema di kafe-kafe dan warung kopi Tapaktuan hingga Trumon bukan sekadar rasa ingin tahu politik; ini soal eksistensi negara-sosial, mengapa banyak pejabat tidak didefinitifkan? Apakah ada hambatan administratif, peraturan yang sengaja dimanfaatkan, atau permainan kepentingan politik-birokratik di balik fenomena ini? Jawabannya kemungkinan adalah kombinasi ketiganya. Praktik penunjukan Plt seringkali muncul karena berbagai sebab, yakni kurangnya calon yang memenuhi syarat administratif, perang faksi dalam birokrasi lokal, atau strategi pusat untuk menahan keputusan strategis. Namun ketika hal itu terjadi massal dan berkelanjutan, dampaknya melampaui alasan teknis dan masuk ke wilayah kegagalan tata kelola.

Meski kritik ini tajam, momen krisis juga menyimpan peluang korektif. Penunjukan Wakil Bupati H. Baital Mukadis sebagai Plt Bupati adalah titik kritis yang bisa menentukan arah Aceh Selatan dalam jangka menengah. Seorang Plt yang bijak harus mengedepankan agenda stabilisasi birokrasi sebagai prioritas darurat, bukan hanya menjaga rutinitas administrasi. Konsolidasi internal harus menjadi langkah awal dengan mengidentifikasi posisi-posisi kritis yang harus segera didefinitifkan, melakukan audit singkat atas kinerja dinas terdampak, serta menyediakan mekanisme delegasi wewenang yang jelas agar keputusan operasional di lapangan tidak terhambat oleh ketidakpastian status.

Konsolidasi itu juga harus berlandaskan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Publik berhak mengetahui alasan administrasi di balik banyaknya status Plt dan roadmap penetapan pejabat definitif. Pengumuman terbuka mengenai kriteria, jadwal, dan mekanisme penunjukan atau seleksi akan mengurangi spekulasi politik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Di samping itu, Plt Bupati perlu fokus memperkuat sistem manajemen darurat, yakni menegaskan garis komando penanganan bencana, menjamin alur pendanaan darurat yang tidak memerlukan persetujuan panjang, dan membuka akses data kondisi lapangan untuk lembaga kemanusiaan yang aktif di wilayah.

Reformasi jangka menengah wajib menyasar tata kelola ASN dan mekanisme pengisian jabatan. Aceh Selatan harus bergerak dari pola "reaktif menambal kekosongan" menjadi model yang proaktif, dimana rencana suksesi yang jelas, penataan kinerja berbasis indikator, serta mekanisme rotasi yang mengutamakan kelayakan teknis daripada kalkulasi politis jangka pendek. Penguatan kelembagaan seperti Badan Kepegawaian yang independen dan audit mutasi berbasis kompetensi dapat menekan praktik penunjukan sementara yang berkepanjangan.

Kini, pada saat masyarakat Aceh Selatan tengah berkabung dan berjibaku dengan dampak banjir, negara harus hadir tidak dalam bentuk janji, melainkan tindakan yang cepat dan terkoordinasi. Struktur pemerintahan yang rapuh bukanlah masalah administratif semata; ia adalah masalah demokrasi lokal yang menuntut jawaban. Ketika mayoritas posisi strategis menggantung dalam status sementara, kapasitas kolektif untuk menyelesaikan masalah nyata, yaitu memulihkan rumah, membuka kembali sekolah, memulihkan akses kesehatan kini menjadi taruhan.

Aceh Selatan membutuhkan kepastian. Kepastian itu datang dari kombinasi legitimasi pejabat definitif, mekanisme tata kelola yang transparan, dan kepemimpinan yang berani menata ulang aparatur demi kepentingan publik. Plt Bupati yang baru harus menempatkan  prioritas tersebut di atas kepentingan kompartemen birokrasi sempit. Jika tidak, daerah ini akan terus berputar di lingkaran sementara, dimana sementara warga menunggu nyata, bukan kata.

Akhirnya, publik tidak menuntut kesempurnaan birokrasi, mereka menuntut efektivitas. Di saat air surut dan laporan kerusakan mulai terhitung, pertanyaan sederhana namun fundamental tetap mengambang, siapa yang bertanggung jawab mengambil keputusan sulit demi keselamatan dan pemulihan rakyat? Jika jawaban kepada pertanyaan itu terus bersifat “sementara”, maka derita yang dialami hari ini akan menjadi tanda bahwa pemerintahan lokal gagal menunaikan tugas dasarnya, yaitu melindungi warga dan memberi kepastian.