Uji Kompetensi, Obatnya Calon Kepala Sekolah
Foto : Taufik My., Penggiat Komunitas Muda Japakeh. | LIPUTAN GAMPONG NEWS
Oleh: Taufik My
OPINI - Tepatnya pada tahun 2018, banyak ujian yang terjadi di bumi japakeh. Diawali dengan surat edaran, jika akan dilaksanakannya Uji Kompetensi guru.
Kami guru pada saat itu siap menyukseskan acara. Karena kami merasa, sudah menjadi kewajiban untuk selalu melatih dan memperdalam ilmu, terutama di bidang profesional. Acaranya pun berjalan lancar, dari mulai proses sampai dengan hasil.
Hasil ujiannya di tempel di depan kantor dinas pendidikan. Bagi kawan-kawan nilainya rendah, agak sedikit riskan. Bagaimana jika dilihat sama wali murid atau murid kami?, pastinya akan menjadi hal yang kurang mengenakkan. Tapi itulah resiko menjadi _“Hamba La'ëh”_, hehehe.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya januari 2019, keluar lagi sebuah surat terbuka. Dalam surat di jelaskan, bahwa akan diadakannya Uji Kompetensi Kepala Sekolah (UKKS). Peserta yang diwajibkan adalah Kepala Sekolah yang sedang menduduki jabatan di wilayah kerja Dinas Pendidikan Pidie Jaya, dan juga bagi mereka para guru yang sudah memenuhi syarat.
Huru Hara Di Mulai
Manyoritas kawan-kawan sangat riang gembira mendengar kabar tersebut. Diantaranya ada yang menyatakan jika, ini baru namanya adil, ketika guru di tes, Kepala Sekolah juga wajib dites.
Ada pernyataan, ini waktunya kepala sekolah untuk kembali belajar, dan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Ada juga penyataan yang lebih radikal, _“Jeut keu keupala sikula meu droe jih hana di tusoe nan, buet gadoeh peuabéh-abéh peng BOS saja, nyan cokk..”_(Menjadi kepala sekolah, nama sendiri saja tidak tau, kerjaannya hanya menghabiskan Dana BOS, rasakanlah..). Intinya kami guru menyambut positif acara tersebut dilaksanakan.
Cerita berbeda datang dari para kepala sekolah. Desas-desus kami dengar jika mereka akan melakukan protes. Manyoritas mereka menolak mengikuti Uji Kompetensi. Hal tersebut terbukti, karena tepat pada tanggal 20 Januari 2019, sebuah berita di halaman media Serambinews menulis berita yang berjudul, “Kepsek di Pidie Jaya Tolak Ikut Uji Kompetensi”.
Alasannya, bahwa uji kompetensi memang sudah dilakukan beberapa tahun silam, dan sebelum mereka diangkat menjadi kepala sekolah. Anehnya, mereka menilai jika hal tersebut hanya mengedepankan kemauan kepala dinas yang ingin mencari popularitas semata.
Sontak ini menjadi perbincangan diberbagai kalangan. Apalagi media yang merilis berita tersebut berskala provinsi bahkan nasional.
Banyak mereka yang bertanya, kenapa hal ini di publish keluar daerah? _“masalah tumôn bu irumoeh, beu di tupeu lee gób”_ (masalah lauk pauk di rumah, harus diketahui oleh semua orang). Jika pun alasan mereka benar, bagamana jika salah? Apa kata dunia?(Kata Naga Bonar).
Padahal semua bisa dikomunikasikan secara internal dengan pimpinan. Disinilah letak loyalitas seseorang terhadap pimpinan secara profesional di pertontonkan.
Lepas dari semua pembelaan diri para kepsek. Tentunya ini menjadi hal yang mengherankan. Ada kawan guru yang berkata, memang sudah menjadi kodrat seorang manusia demikian, maunya senang saja, tapi pas di uji _“ka apoeh apah”_. Hehehe...
Sandiwara ini pun ditutup dengan sebuah pernyataan dari Bapak Sekda Pidie Jaya pada saat itu. Di media yang sama, beliau menyatakan bahwa Uji Kompetensi Kepala Sekolah (UKKS) wajib untuk diikuti. Khususnya bagi mereka yang sudah menjabat dan tidak ikut serta, akan mendapatkan sangsi administrasi.
Maka keluarlah juknis pelaksanaan acara tersebut. Mau tidak mau, berbondong-bondonglah mereka ikut serta.
Berhubung memenuhi syarat yang diminta. Saya mengajak beberapa kawan yang juga memenuhi syarat untuk ikut. Mulanya mereka ngak mau, karna posisi kami masih guru, jadi tidak termasuk dalam pihak-pihak yang berkepentingan.
Saya pun berargumen, jika UKKS ini di ibaratkan sebagai permainan bola kaki, kami posisikan sebagai pemain asing atau pemain cadangan. Dengan harapan agar permainan terlihat cantik, pemain inti tidak asal main, mengingat pemain cadangan telah antri menunggu. Alhasil, beberapa kawan guru juga ikut mendaftar.
Apa Saja Yang DI Uji
Persyaratannya lumayan banyak. Salah satunya adalah surat bukti jika kami harus bebas narkoba. kita semua sepat dengan hal ini.
Tes pertama di hari pertama adalah uji coba baca _al-qur’an_. Menurut saya tes ini memang wajib. Mampu baca qur’an memanglah sebagai tanda dasar seorang itu beriman. Jika ini saja tidak terlewati oleh seorang calon pimpinan, mustahil akan ada program islami yang akan di aplikasikan nantinya.
Pada hari kedua, Tes kedua merupakan cara mengoprasikan komputer. Ini juga merupakan hal yang wajib bagi seorang kepsek. Di era perkembangan teknologi sekarang ini, sudah selayaknya sekolah maju dan berkembang, dengan menggunakan teknologi sebagai alat bantunya.
Dihari berikutnya dilakukanlah tes ketiga dan keempat. Tes ini dilaksanakan secara kontiniu di hari yang sama, dengan agenda Uji Subtansi dan Wawancara. Tim seleksi dan pembuat soalnya, turun tangan langsung dari pihak LPMP pada saat itu (Sekarang BPMP).
Dibagian uji subtansi, kami posisikan duduk seperti layaknya ujian. Kemudian kami dibagikan soal studi kasus. Ada yang 5 menit harus kami siapkan, kemudian 10 menit, 20 menit, dan yang soal terakhir kami di beri waktu 40 menit.
Kerennya, di soal studi kasus ini peserta diharapkan mampu mengidentifikasi masalah dengan tepat dan cepat, lengkap dengan solusinya. Pada soal terakir yg menuntut ketelitian dan hati-hati. Dari berbagai macam kasus, dianalisis dan menetapkan standar yang diprioritaskan, lengkap dengan tiga solusi.
kemudian di tes terakhir, setiap peserta satu persatu dipanggil untuk wawancara. Setiap jawaban yang telah tertera pada lembar uji subtansi, akan digali lebih dalam. Di tahap ini akan nampak jelas, mana yang nyotek dan mana yang ide original.
Setelah semuanya selesai. Meski tidak ada pengumuman hasilnya, dengan alasan demi menjaga nama baik kepala sekolah. Namun secara tersirat, terlihat jelas tingkat kompetensi para peserta pada saat mutasi jabatan kepala sekolah saat itu.
Mungkin itu alasan kenapa para _Ferguso_ sebelumnya menolak. Tapi, perlukah UKKS diterapkan?
Untuk meningkat mutu pendidikan suatu daerah, perlu adanya standar kemampuan terukur. Ada pepatah yang berbunyi _“Bek lagee ba moto broek”_. Seorang Kepala Satuan Pendidikan haruslah punya target yang jelas. Program yang bertahap dan terukur. Rusaknya sebuah permainan bola kaki, adalah ketika pelatihnya mantan pemain cadangan mati.
Ketika mereka kembali sekolah, bermacam kasus akan datang menyapa. Kasus dengan guru, wali murid, antar murid, bahkan dengan masyarakat sekitar.
Jika di dasarkan pada hasil Uji Kompetensi, Hanya mereka bernilai besar yang mampu menyelesaikan kasus di sekolah besar. Bagi para abang jago yang bernilai kecil, kemampuanmu hanya mengurus sekolah-sekolah yang kecil pula.
Apalagi jika ditambah dengan catatan kaki dari para pengawas, yang menjelma laksana malikat Raqib dan Atid. Mission Complete...
Sehingga tertundalah langkah, bagi mereka yang memikul taring harimau, gading gajah, apa dan abuwa. Tersusunlah program yang berkesinambungan, antara struktural dengan yang fungsional, tanpa adanya ego sektoral. (**)
Taufik My: Penggiat Komunitas Muda Japakeh.