28 September 2025
Gampong

Surat Domisili, Jebakan Terselubung di Pencalonan Keuchik Meunasah Pupu Pidie Jaya

Foto : Tangkapan layar vidio WhatsApp warga Meunasah Pupu | LIPUTAN GAMPONG NEWS

LIPUTANGAMPONGNEWS.IDAda aroma janggal yang menyelimuti proses pencalonan Keuchik Gampong Meunasah Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya. Sang calon petahana yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya, kini berniat kembali maju dalam pemilihan keuchik Oktober mendatang. Namun, langkahnya diganjal aturan tak tertulis yang terkesan dibuat hanya untuk menjegalnya. Dalihnya sederhana: domisili.

Petahana ditolak karena surat domisili yang mestinya hanya butuh legalisasi administratif, digantungkan pada tanda tangan Tuha Peut Gampong. Ironisnya, Tuha Peut enggan menandatangani dengan alasan sang calon lebih sering bermalam di rumah istrinya di kecamatan tetangga, meski setiap hari ia tetap beraktivitas dan memiliki KTP sah di Gampong Meunasah Pupu. Perkawinan barunya justru dijadikan alasan untuk meniadakan hak politiknya.

Padahal, menurut Qanun Aceh maupun Undang-Undang Desa, syarat utama domisili merujuk pada kependudukan formal: KTP dan KK. Fakta bahwa petahana masih terdaftar di gampong dan aktif dalam kehidupan sosial mestinya sudah cukup. Tetapi, tafsir hukum seakan dikaburkan oleh tafsir kepentingan.

Seorang pejabat kecamatan yang dikonfirmasi media malah mengakui, aturan domisili harus mengetahui tuha peut memang tidak tertulis. Namun, ia berdalih sudah berkonsultasi secara lisan dengan DPMG.

Dari konsultasi lisan itulah muncul alasan untuk menyerahkan kuasa besar kepada Tuha Peut dalam menandatangani surat domisili. Landasan hukum yang kabur, tetapi diperlakukan seolah mutlak.

Kejanggalan makin terasa ketika di gampong lain dalam kabupaten yang sama, syarat serupa tidak diberlakukan. Di sana, surat domisili cukup ditandatangani P2K tanpa perlu tanda tangan Tuha Peut. Kontradiksi inilah yang menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: mengapa aturan yang sama bisa berbeda tafsir di wilayah yang sama?

Pj. Keuchik Meunasah Pupu pun memberikan pembenaran yang tak kalah kontroversial. Ia berpegang pada pidato Bupati Pidie Jaya, Sibral Malasyi, saat sosialisasi pencalonan keuchik. Dalam pidatonya, sang bupati berkata singkat: “Eh, Toh, Pajoh harus di gampong setempat.” Kalimat yang berarti “tidur, makan, dan buang air harus di gampong setempat.” Kalimat singkat ini kemudian dimaknai secara liar sesuai kepentingan kelompok tertentu untuk menyingkirkan petahana.

Seorang praktisi hukum menilai, penafsiran pidato bupati itu keliru. “Pernyataan lisan pejabat tidak bisa dijadikan dasar hukum. Hukum harus merujuk pada peraturan perundang-undangan, bukan tafsir bebas,” tegasnya.

Menurutnya, jika KTP dan KK calon masih tercatat di gampong setempat, maka secara hukum ia sah mencalonkan diri. “Tidur di mana itu urusan privat, tidak bisa dijadikan alasan mencabut hak politik seseorang.”

Warga gampong justru melihat keanehan. Bagi mereka, petahana tetap bagian dari Meunasah Pupu. Ia punya KTP di gampong itu, ikut musyawarah, gotong royong, dan kegiatan adat. Bahwa ia pulang malam ke rumah istri di kecamatan tetangga dianggap wajar, apalagi jaraknya tak jauh. “Itu urusan keluarga, bukan soal domisili,” kata seorang warga yang geram.

Sementara itu, aktivis masyarakat sipil di Pidie Jaya mengingatkan bahaya manipulasi aturan. “Kalau begini caranya, demokrasi gampong hanya jadi sandera kepentingan elit kecil. Masyarakat disingkirkan dari proses, sementara aturan dipelintir demi menjatuhkan calon tertentu,” ujarnya. Ia menambahkan, praktik semacam ini bukan hanya melukai demokrasi, tetapi juga bisa memicu konflik horizontal di tingkat gampong.

Yang lebih aneh lagi, setelah P2K lama mengundurkan diri, pihak Tuha Peut merekrut panitia baru tanpa musyawarah, melainkan door to door. Tahapan pemilihan seperti penyampaian visi-misi dan pengambilan nomor urut calon pun dilakukan diam-diam. Hanya segelintir orang yang hadir: P2K baru, Tuha Peut, dan Pj. Keuchik. Masyarakat tak diberi kabar, padahal merekalah pemilik kedaulatan di gampong.

Kisruh ini menimbulkan kesan bahwa demokrasi gampong sedang disandera kepentingan sempit. Pertanyaan pun menggantung: apakah pemilihan keuchik Meunasah Pupu akan benar-benar memilih pemimpin gampong, atau hanya mengesahkan skenario politik yang sudah diatur sejak awal? (**)