Program Pusat, Beban Daerah: P3K Menjadi Luka Baru Fiskal Pidie Jaya
OPINI - Program nasional pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) paruh waktu sedang dipuji sebagai solusi atas nasib tenaga honorer. Namun di Kabupaten Pidie Jaya, di balik kata-kata indah itu tersimpan realitas yang lebih pahit, sebuah daerah dengan defisit anggaran, program efisiensi yang masih berjalan, dan urusan-urusan publik yang belum tuntas, kini harus menimbang beban tambahan yang berpotensi melumpuhkan anggaran daerah.
Secara administratif, P3K memang diklaim sebagai program pusat. Realitanya, banyak komponen biaya yang jatuh ke daerah, mulai dari penggajian jangka panjang, tunjangan, hingga kebutuhan administrasi dan pembinaan pegawai. Untuk kabupaten yang mengandalkan transfer rutin dari pusat dan masih berkutat merapikan struktur belanja, kewajiban baru ini bukan sekadar nominal, ia memaksa perubahan prioritas anggaran yang belum pernah direncanakan sebelumnya.
Dalam keseharian pemerintahan lokal, defisit dan program efisiensi bukan sekadar istilah anggaran. Artinya ada proyek infrastruktur yang tertunda, layanan publik yang terpangkas, dan fasilitas umum yang belum memadai.
Hal ini menambah komitmen belanja pegawai tanpa cadangan fiskal jelas meningkatkan risiko pengorbanan layanan dasar demi menutup kebutuhan belanja rutin pegawai.
Kesiapan struktural Pemkab Pidie Jaya untuk menerima gelombang P3K juga dipertanyakan. Dari perencanaan jangka menengah (RPJMD/RKPD) hingga penyusunan APBK, banyak daerah belum mengalokasikan proyeksi beban pegawai jangka panjang secara sistematis. Sumber-sumber internal menyebutkan kesiapan fiskal yang “belum matang,” artinya, keputusan yang bersifat politis atau mendadak bisa memaksa penyesuaian anggaran yang merugikan program pembangunan strategis.
Di lain sisi, proses rekrutmen P3K membuka celah tata kelola: lemahnya transparansi dan akuntabilitas bisa memicu praktik titipan, politisasi penempatan, dan manipulasi data. Ini bukan spekulasi kosong, kekhawatiran serupa muncul di berbagai daerah tanpa mekanisme audit ex-post dan keterlibatan publik dalam pengawasan, pengangkatan P3K berisiko menjadi ladang penyimpangan yang membebani rakyat dua kali sebagai pembayar pajak dan sebagai penerima layanan publik yang terkikis.
Pilihan politik juga menekan. Menolak program pusat rawan dipolitisasi, menerima tanpa strategi fiskal yang jelas sama saja menabur bom waktu untuk APBK. Di provinsi yang kerap diwarnai dinamika politik lokal, keputusan pengangkatan bisa berubah menjadi alat konsolidasi dukungan praktis, hasilnya, bukan kualitas layanan yang meningkat, melainkan angka pegawai yang membengkak tanpa disertai peningkatan kapasitas atau efisiensi.
Solusi praktis harus datang cepat dan jujur. Pertama, Pemkab wajib mempublikasikan proyeksi dampak fiskal terperinci, berapa tambahan belanja pegawai per tahun, sumber pembiayaannya, dan program mana yang akan terdampak. Kedua, perlu moratorium selektif pada rekrutmen non-prioritas, sambil menuntut skema pendanaan bersama dengan pemerintah pusat (misalnya pendanaan transisi atau insentif pusat). Ketiga, mekanisme transparansi rekrutmen dan audit independen harus ditegakkan untuk mencegah titipan dan penyimpangan.
P3K bisa jadi jawaban bagi honorer yang selama ini tersisih, namun jika dilaksanakan sambil menutup mata pada kondisi fiskal daerah, ia berubah menjadi beban yang mematikan pembangunan. Pemkab Pidie Jaya harus memilih, mengamankan masa depan layanan publik dan pembangunan, atau menukar semuanya demi kewajiban anggaran jangka pendek yang tampak menyenangkan di atas kertas. Jika tidak ada keberanian untuk terbuka dan menegakkan akuntabilitas, yang paling merugi tetap rakyat Pidie Jaya. (TS)